Selasa 13 Aug 2024 16:36 WIB

Indonesia Harus Lebih Serius Pacu Transisi Energi

Di atas kertas komitmen Indonesia dalam melakukan transisi energi sudah baik.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Petugas membersihkan permukaan panel surya yang terpasang di Pasar Gedhe, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (6/12/2023).
Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugro
Petugas membersihkan permukaan panel surya yang terpasang di Pasar Gedhe, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (6/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam laporan Fostering Effective Energy Transition yang dirilis World Economic Forum (WEF) bulan Juni , peringkat Indeks Transisi Energi (ITU) Indonesia berada di posisi ke-54 dengan skor 56,7, kalah dari Vietnam di posisi ke-32 dan Malaysia posisi 40. Menurut pengamat, Indonesia harus menerapkan kebijakan lebih serius untuk memacu transisi energi.

"Yang harus dilakukan jelas. Kita harus beralih dari bahan bakar fosil ke energi yang bersih terbarukan dengan segera. Kalau mau terhindar dari krisis iklim di tahun 2050, rekomendasi The International Energy Agency (IEA) sudah jelas, dari tahun lalu seharusnya tidak boleh lagi ada penambahan penggunaan bahan bakar fosil," kata Juru Kampanye Oil Change International dan co-founder Arise! Indonesia Hikmat Soeriatanuwijaya, Selasa (13/8/2024).

Hikmat mengatakan, di atas kertas komitmen Indonesia dalam melakukan transisi energi sudah baik. Menurut Hikmat, Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan kemampuan sendiri sebesar 29 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 41 persen pada tahun 2030 cukup progresif. "Sayangnya dalam kenyataannya, belum seindah itu," kata Hikmat.

Ia juga mengapresiasi target EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. "Tapi lagi-lagi kenyataannya belum seindah itu. Sekarang sudah 2024, EBT masih hanya 13 persen dalam bauran energi. Batubara masih paling besar yakni 40 persen disusul minyak bumi dan gas," katanya.