REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab al-Iman mengutip perkataan Abu Hayyan At-Taimy. Ia berkata, "Orang-orang yang berilmu terdiri atas tiga golongan."
Pertama, orang yang mengetahui Allah, tetapi tidak mengenal perintah-Nya. Kedua, orang yang mengetahui perintah Allah, tetapi tidak mengenal Allah. Ketiga, orang yang mengetahui Allah dan juga mengetahui perintah-Nya."
Ibnu Taimiyah menjelaskan, ada hubungan antara berilmu dan takut kepada Allah. Logikanya, seseorang yang semakin berilmu, maka rasa takutnya kepada Allah pun kian bertambah tebal.
Kata sang alim: "Ketakutan kepada Allah mengharuskan ilmu tentang Allah. Maka, ilmu tentang Allah juga mengharuskan ketakutan kepada-Nya. Dan, takut kepada Allah harus melahirkan ketaatan kepada-Nya. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang mengerjakan perintah-perintah-Nya serta menghindari segala bentuk larangan-Nya."
Contoh sederhananya, seseorang yang tidak memiliki ilmu tentang Allah cenderung merasa dirinya bebas berbuat apa saja. Ia bahkan dapat melakukan maksiat tanpa rasa menyesal. Seandainya ingin mencuri, niat buruknya itu terhenti--misalnya--lantaran melihat kamera CCTV, alih-alih mengingat Allah, Zat Yang Mahamelihat.
Setidaknya, ada enam hal yang harus ditakuti oleh orang yang beriman. Pertama, takut akan siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT dan kepada sesama.
Ketiga, takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka. Keempat, takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia.
Kelima, takut akan akhir kehidupan atau kematian yang buruk (su’ul khatimah). Terakhir, takut akan azab kubur, pengadilan Allah, dan azab-Nya di akhirat kelak.
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Sebab, perasaan ini dapat mengantarkan seorang hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan.
Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia cenderung tanpa beban melakukan perbuatan maksiat. Suatu negeri, misalnya, akan semakin rusak bila para pemimpin, pejabat dan aparatnya tidak takut kepada Allah. Pada akhirnya, korupsi semakin merajalela.