REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia terus menunjuk tren perlambatan yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Sri menyampaikan PMI manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 merosot di level 48,9 atau lebih rendah dari Juni 2024 yang berada di level 50,7.
"54,2 persen negara G20 dan ASEAN-6 masuk kategori PMI negatif pada Agustus 2024, termasuk Indonesia," ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTa edisi September 2024 di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (23/9/2024).
Sri menyampaikan 45,8 persen lainnya seperti Inggris, India, Singapura, Thailand, hingga Vietnam mencatatkan level PMI yang ekspansif. Sri menyebut PMI manufaktur global mengalami pelemahan di level 49,5.
Di sisi lain, ucap Sri, PMI jasa justru mengalami pertumbuhan di level 53,3. Sri menilai data ini indikasi terjadinya fenomena peralihan sektor usaha di berbagai dunia akibat teknologi.
"PMI jasa ini begitu ekspansif menggambarkan perekonomian dunia mengalami transformasi yang mana sektor jasa dengan adanya teknologi digital lebih dominan dan berperan penting bagi perekonomian berbagai negara," lanjut Sri.
Meski mengalami kontraksi pada sektor manufaktur, Sri juga menyampaikan kabar gembira dengan tren positif sejumlah indikator lain seperti inflasi pada Agustus 2024 yang stabil di angka 2,1 persen. Sri menyebut angka ini hampir sama dengan banyak negara, terutama di Eropa.
Selain itu, Sri menyampaikan Indonesia berhasil mencatatkan neraca perdagangan yang positif pada Agustus dengan surplus 2,9 miliar dolar AS. Sri menjelaskan nilai ekspor pada Agustus tercatat 23,56 miliar dolar AS atau tumbuh 7,1 persen yoy dan impor sebesar 20,68 miliar dolar AS atau tumbuh 9,5 persen yoy.
"Kita berharap dengan ekspor dan impor yang mulai tumbuh bisa mendorong kembali kegiatan manufaktur," ucap Sri.
Menurut Sri, hal ini menjadi kabar baik mengingat neraca perdagangan Indonesia pada awal tahun mengalami kontraksi. Sri juga berharap peningkatan impor berbagai barang antara dan barang modal dapat menopang pertumbuhan ekonomi.
"Satu hal yang perlu kita waspadai itu neraca perdagangan kita meski surpkus tapi surplusnya mengalami penurunan. Januari-Agustus 2023 itu surplus 24,32 persen, sekarang (Januari-Agustus 2024) hanya 18,85 persen," kata Sri.