REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR --Fisioterapi merupakan profesi kesehatan yang berperan penting dalam menjaga dan memulihkan kemampuan gerak manusia. Seiring dengan semakin kompleksnya tantangan kesehatan global, fisioterapi terus beradaptasi dan berkembang.
Di Indonesia, profesi ini telah menjadi bagian dari layanan kesehatan dasar,
berperan aktif di Puskesmas, dan berkontribusi dalam menjaga kesehatan
masyarakat. Dengan perkembangan teknologi medis dan kolaborasi internasional,
fisioterapi Indonesia kini berpeluang untuk terus maju dan diakui di kancah global.
President of World Physiotherapy, Michel Landry memprediksi kebutuhan fisioterapis
akan mencapai 2,2 juta per tahun. Ia juga mengungkapkan bahwa setiap tahun ada sekitar 10 juta lulusan sarjana fisioterapi. Mereka harus melanjutkan pendidikan ke
spesialisasi.
“Untuk membangun fisioterapi, harus dimulai dari mengembangkan pendidikan,”
kata Landry.
Kongres Asian Western Pacific (AWP) 2024 di Denpasar, Bali, menjadi momentum
penting bagi fisioterapi Indonesia. Acara ini bertujuan memperkuat kolaborasi dan
meningkatkan kompetensi dalam menghadapi tantangan kesehatan global.
Ketua Umum PP IFI, Parmono Dwi Putro, menegaskan bahwa kongres ini adalah
wujud nyata peran fisioterapi Indonesia dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
Ia juga menekankan bahwa fisioterapi di Indonesia adalah bagian dari profesi
kesehatan dunia yang terus berkembang dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Parmono juga menegaskan bahwa kongres ini sangat relevan untuk memperkenalkan fisioterapi Indonesia di mata dunia. “Inilah Fisioterapi Indonesia ke
kancah internasional, kita adalah tenaga kesehatan yang sama, tenaga dengan
seluruh tenaga kesehatan dunia, saatnya kita kolaborasi,” kata Parmono Dwi Putro
menegaskan.
Ia menambahkan bahwa fisioterapis di Indonesia harus terus memperjuangkan
kualitas dan kompetensi mereka untuk semakin maju di kancah internasional.
Menurutnya, fisioterapi Indonesia memiliki prospek yang cerah, terutama karena
profesi ini telah menjadi bagian dari pelayanan kesehatan tingkat pertama di
Puskesmas, yang sejalan dengan program promotif dan preventif dari Kementerian
Kesehatan RI.
Dalam Kongres AWP 2024 dan Temu Ilmiah Tahunan Fisioterapi Indonesia (TITAFI)
2024, Parmono Dwi Putro menekankan pentingnya akses langsung dan peran lebih
besar fisioterapis dalam sistem kesehatan Indonesia. Acara ini dihadiri oleh ratusan
delegasi dari berbagai negara Asia, menampilkan pameran produk dan peralatan
kesehatan terkait fisioterapi.
Parmono optimis bahwa kolaborasi dengan Asian Western Pacific (AWP) akan
semakin memajukan fisioterapi di Indonesia. “Alhamdulillah. Fisioterapi sudah masuk di first contact. Saat ini fisioterapi dipercaya untuk bisa menangani first
kontak di Puskesmas,” ungkapnya.
AWP Congress 2024 menampilkan sejumlah sesi penting, termasuk International
Workshop yang menghadirkan para pakar fisioterapi dunia. Dr. Joshua Farragher
(Australia) membahas manajemen nyeri punggung bawah, sementara Dr. Janel Lee
(Singapura) mengupas fisioterapi pediatrik di komunitas.
Prof. Marco Pang (Hong Kong) memaparkan tentang dual-task assessment bagi
pasien stroke, dan Dr. Shirley Ngal (Hong Kong) menjelaskan prinsip dan aplikasi
tes latihan kardiopulmoner. Prof. Alice dan Abraham Jones (Australia) membahas
standar penilaian praktik klinis fisioterapi.
Selain itu, kongres diisi Focused Symposium yang mengangkat topik penting seperti
pelatihan dual-task oleh Mohammad Jobair Khan (Hong Kong), inovasi rehabilitasi
digital oleh Dr. Eva Artholahti dan Dr. Minna Eriksen (Finlandia), serta peran
fisioterapis dalam kesehatan kerja oleh Dr. Nathan Hutting (Belanda).
Dengan tema "Collaboration and Transformation Toward a Sustainable
Physiotherapy Practice", kongres ini menjadi ajang penting bagi pendidik, peneliti,
dan klinisi untuk bertukar informasi dan memperkuat hubungan profesional
antarnegara di kawasan Asia Pasifik. Parmono berharap kolaborasi ini akan
meningkatkan kompetensi fisioterapis Indonesia di tingkat global.
Selain itu, Muhammad Irfan, Sekretaris Jenderal IFI, menyatakan bahwa pameran di
kongres menampilkan teknologi fisioterapi canggih. Teknologi ini diharapkan bisa
diterapkan di Indonesia. Salah satu contohnya adalah peralatan berbasis robotik.
Alat tersebut memungkinkan pasien pulih lebih cepat.
"Dengan penggunaan teknologi yang lebih maju, durasi pemulihan pasien bisa lebih
cepat dibandingkan metode konvensional. Hal ini tentunya sangat menguntungkan,
terutama dalam konteks efisiensi biaya dan hasil rehabilitasi yang lebih baik," kata
Irfan.