Selasa 01 Oct 2024 16:39 WIB

Deflasi Lima Bulan Beruntun: Tanda Daya Beli Menurun, Ekonomi Sedang tidak Baik-Baik Saja

Deflasi 0,12 persen pada September menjadi yang terdalam dalam lima bulan terakhir.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Andri Saubani
Pedagang melayani pembeli di Pasar Rumput, Jakarta, Senin (2/9/2024). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut dari Mei hingga September 2024.
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang melayani pembeli di Pasar Rumput, Jakarta, Senin (2/9/2024). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut dari Mei hingga September 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024) mengumumkan deflasi September 2024 sebesar 0,12 persen (month-to-month/mtm) yang melanjutkan tren deflasi selama lima bulan berturut-turut. Catatan deflasi September 2024, secara historis, menjadi deflasi terdalam bila dibanding dalam lima bulan terakhir.

Menurut BPS deflasi pada September dipengaruhi oleh penyesuaian pada sisi suplai pangan. Dalam konferensi pers Rilis BPS di Jakarta, Selasa, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, deflasi dalam lima bulan terakhir secara umum disumbang oleh penurunan harga komoditas bergejolak (volatile food).

Baca Juga

“Faktor yang mempengaruhi deflasi atau penurunan harga adalah sisi penawaran. Andil deflasi utamanya disumbang oleh penurunan harga pangan,” kata Amalia.

Secara khusus, pada September 2024, komponen harga bergejolak mengalami deflasi sebesar 1,34 persen, dengan andil terhadap inflasi umum sebesar 0,21 persen. Komoditas utama yang berperan dalam deflasi bulanan yaitu cabai merah sebesar 0,09 persen, cabai rawit sebesar 0,08 persen, telur ayam ras dan daging ayam ras masing-masing sebesar 0,02 persen, tomat, daun bawang, kentang, dan wortel masing-masing sebesar 0,01 persen.

“Produk hortikultura dan juga produk peternakan beberapa bulan sebelumnya sempat mengalami peningkatan, sekarang turun karena kembali stabil,” jelas Amalia.

Dia menggarisbawahi angka deflasi yang diperoleh BPS mengacu pada Indeks Harga Konsumen (IHK), di mana faktor yang mempengaruhi adalah biaya produksi hingga kondisi suplai. Untuk itu, BPS tidak mengaitkan data deflasi dengan dugaan penurunan daya beli masyarakat.

“Untuk mengambil kesimpulan apakah ini menunjukkan indikasi daya beli masyarakat menurun, harus ada studi lebih lanjut. Karena daya beli itu tidak bisa hanya dimonitor dari angka inflasi atau deflasi,” ujarnya.

Namun, dia menyatakan pihaknya akan mendalami lebih lanjut tren deflasi ini, apakah memang ada kaitannya dengan fenomena daya beli masyarakat atau hanya pergerakan dari sisi penawaran.

“Atau ada upaya stabilisasi harga di pusat dan daerah. Karena intervensi kebijakan untuk menjaga stok itu tentunya akan mempengaruhi gerakan harga pasar yang diterima oleh konsumen,” tutur dia.

photo

Kelas menengah tergerus, ekonomi terancam - (Dok Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement