REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON--Polemik tahta sultan di Keraton Kasepuhan Cirebon hingga kini terus bergulir. Sejumlah pihak menilai pemerintah harus turun tangan membantu menyelesaikan polemik tersebut.
Polemik itu terjadi setelah wafatnya Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan, PRA Arif Natadiningrat pada 2020. Hal tersebut menyusul adanya sejumlah pihak yang mengklaim sebagai sultan yang sah untuk menduduki tahta di Keraton Kasepuhan.
Sedangkan putra dari almarhum Sultan Arief, yakni PRA Luqman Zulkaedin, sudah melakukan proses jumenengan untuk menggantikan ayahnya dan menjadi Sultan Sepuh XV.
Polemik itu beberapa hari terakhir kembali memanas setelah beredarnya dawuh pengangkatan Habib Lutfi bin Yahya sebagai Ketua Dewan Kelungguhan Kesultanan Cirebon, oleh Heru Nursamsi, yang mengaku sebagai Sultan Kasepuhan.
Polemik semakin menanas setelah terjadinya kericuhan yang melibatkan sejumlah oknum warga dengan rombongan perwakilan Heru Nursamsi, usai melakukan diskusi dengan Panglima Tinggi Macan Ali Nuswantara, Prabu Diaz, di Alun-alun Sangkala Buana Cirebon, Rabu (2/10/2024).
Heru Nursamsi langsung melaporkan peristiwa penyerangan yang menimpa timnya itu ke Mapolres Cirebon Kota.
Pj Wakil Kota Cirebon, Agus Mulyadi, mengaku prihatin dengan belum selesainya polemik yang terjadi di Keraton Kasepuhan. ‘’ Ya sebetulnya keprihatinan dari kami ya, pemerintah daerah kota, provinsi Jawa Barat, maupun juga pemerintah pusat, yang sampai dengan saat ini belum selesai terkait dengan polemik Keraton Kasepuhan,’’ kata Agus, Kamis (3/10/2024).
Apalagi, kata Agus, kemarin sampai terjadi peristiwa keributan di Alun-alun Sangkala Buana. Dia menilai, kejadian itu hanya merupakan kesalahpahaman terhadap statement seseorang yang kemudian ditanggapi dengan berbeda.
Agus mengatakan, pihaknya sebelumnya sudah pernah mengumpulkan pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai keturunan zuriah dari Sunan Gunung Jati. ‘’Tapi memang kami tidak bisa masuk terlalu jauh ya. Menurut kami sebetulnya yang bisa menyelesaikan adalah internal dari keluarga mereka,’’ kata Agus.
Meski demikian, Agus menyatakan, pihaknya siap memfasilitasi kembali pertemuan pihak-pihak yang terkait dalam polemik tersebut. Namun, pihak-pihak itu harus mempunyai frekuensi yang sama untuk menyelesaikan polemic itu.
‘’Semuanya harus punya frekuensi yang sama, ingin menyelesaikan. Jangan ada bahasa ‘ini pokoknya’, ‘ini jare kita’ (ini kata saya). Itu ya sama saja, kita mempertemukan orang-orang yang tidak sepaham atau bertikai dalam satu tempat,’’ kata Agus.
‘’Silahkanlah kalau kita punya frekuensi yang sama, punya pemikiran untuk menyelesaikan masalah, ayo duduk bareng, kita siap fasilitasi dengan Forkopimda. Kalau perlu dengan Pak Pj Gubernur juga kita siap,’’ imbuh Agus.
Agus menambahkan, fasilitasi pertemuan itu baru bisa dilakukan jika pihak-pihak yang berembug sudah punya penyamaan persepsi. ‘’Kita harapkan mereka sudah punya penyamaan persepsi, baru kita undang. Kalau kita undang, kemudian mereka semua (belum punya persamaan persepsi) berkumpul, kan jadi malah debat. Yang penting bagaimana masing-masing pihak bermaksud untuk bisa menyelesaikan permasalahan. Kalau itu belum ada, nggak akan sampai bisa menjadi kata sepakat,’’ papar Agus.