REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah Pasukan Salib mengalami kekalahan dalam Perang Hittin pada Juli 1187, mereka berupaya mencari target wilayah jajahan lainnya. Arce yang menjadi kota terpenting penjajahan bangsa Frank di timur kembali dikuasai oleh kaum Salibis.
Kemudian, Arce menjadi pusat pemerintahan semua wilayah yang dijajah oleh Pasukan Salib di Syam. Mereka menganggapnya sebagai pengganti Baitul Makdis, yang berhasil dikuasai Muslimin. Di antara daerah-daerah yang dikendalikan Acre adalah Haifa dan Caesarea.
Pasukan Salib mau mengejar kemenangan lain atas pihak Islam. Namun, mereka justru dilanda perpecahan internal. Alhasil, raja Prancis kembali ke negerinya. Tinggal Raja Richard memerintah seorang diri. Pemimpin dari Inggris itu memusatkan kekuasaannya di dua kota, yaitu Arsuf dan Jaffa (saat ini Tel Aviv).
Kota Arsuf diperoleh selepas melalui pertempuran sengit yang dimenangi oleh Richard. Selepas kemenangan itu, sosok berjulukan Si Hati Singa ini berniat lagi merebut Baitul Makdis dari tangan Muslimin.
Mengetahui itu, Shalahuddin al-Ayyubi terus memperkuat pertahanan Baitul Makdis. Sang pembebas al-Quds itu berupaya memperkukuh kekuatan militernya agar bisa melindungi kota-kota lain di sekeliling tanah suci.
Richard terpaksa melupakan niatnya. Terlebih lagi, ia dapat kembali ke negerinya untuk dimahkotai sebagai raja Inggris untuk kedua kalinya. Maka muncul perjanjian damai Ramallah pada 2 September 1192 M atau yang bertepatan dengan tahun 588 H.
Perjanjian itu menguatkan pernyataan bahwa Pasukan Salib akan memiliki wilayah di kawasan pesisir, yakni dari Tyre hingga Jaffa. Ini meliputi kota-kota Caesarea, Haifa, dan Arsuf. Hal itu manakala Ashkelon tetap berada di tangan orang Islam.
Sementara itu, kota-kota lain yaitu Ramallah dan Lod dibagi antara pihak Islam dan Pasukan Salib. Shalahuddin mau Dinasti Ismailiyah dimasukkan dalam perjanjian, sedangkan Pasukan Salib menghendaki Kota Antioch dan Tripoli juga disebut dalam kesepakatan. Para panglima Hospitaller, kesatuan Templar, dan semua pasukan Frank pun setuju dengan poin-poin itu.
Tempat-tempat suci tetap berada di tangan orang Islam. Tetapi semua penganut Kristen diberikan izin menziarahi Baitul Makdis tanpa dipungut biaya atau pajak jizyah. Perjanjian itu disepakati dan berlaku selama tiga tahun tiga bulan.
Ketika menandatangani perjanjian itu Raja Richard diwakili oleh Henry de Champagne, Balian II de Ibelin dan Unfoy IV de Torun. Pihak Islam diwakili oleh kedua putra Shalahuddin, yaitu Al Afdhal dan Az Zahir serta saudara kandungnya Al Adil dan beberapa pegawai kerajaan Ayyubiyah.
Sumber: Atlas Perang Salib karya Sami bin Abdullah Al Maghluts, 2014.