REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Mata malas atau ambliopia menjadi salah satu gangguan mata yang kerap menimpa anak. Mata malas merupakan kondisi di mana salah satu mata atau kedua mata tidak berkembang dengan baik sejak usia dini. Akibatnya, otak lebih memilih untuk menggunakan mata yang lebih kuat dan mengabaikan mata yang lebih lemah.
Dokter Spesialis Mata Rumah Sakit (RS) Mata Cicendo Feti Karfiati Memed mengingatkan untuk menangani mata malas atau ambliopia pada anak, guna mencegah kebutaan saat dewasa. Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (9/1/2024), Feti menyebutkan penyebab paling umum dari hilangnya penglihatan pada orang dewasa usia 20-70 tahun adalah ambliopia yang tidak diobati dengan baik pada masa anak-anak.
"Hanya anak-anak yang bisa mengalami ambliopia. Jika tidak diterapi pada masa anak-anak, hal ini akan mengakibatkan hilangnya penglihatan secara permanen," ujarnya.
Dia mengatakan ambliopia adalah penurunan perkembangan penglihatan yang terjadi ketika otak tidak menerima rangsangan normal dari mata. Menurutnya, ambliopia sering disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak terkoreksi, strabismus atau mata juling, serta kelainan di dalam mata seperti katarak.
Pemeriksaan penglihatan pada usia sekolah sebetulnya bisa jadi terlambat, kata Feti, karena ambliopia mulai sulit disembuhkan setelah usia 5 tahun. Selain itu kehilangan penglihatan permanen dapat mulai terjadi jika terapi dilakukan setelah usia 8 hingga 10 tahun.
Adapun anak-anak yang berisiko mengalami ambliopia, katanya, antara lain mereka yang memiliki riwayat keluarga dengan strabismus atau mata juling, mata malas, atau penggunaan kacamata sejak kecil. Dia menyebutkan riwayat medis, seperti kelahiran prematur, perkembangan terlambat, dan diabetes juga dapat meningkatkan risiko ambliopia. Selain itu riwayat masalah mata, seperti mata juling, mata berair, ptosis, dan penglihatan kabur juga perlu diperhatikan.
Skrining pada bayi baru lahir sebaiknya dilakukan pada usia sekitar 35 bulan atau usia 0 hingga 2 tahun untuk mengetahui riwayat kesehatan, termasuk masalah mata pada keluarga. "Kemudian cek penglihatan pergerakan mata atau adanya nistagmus, jadi matanya tidak diam, dia bergerak terus, kemudian bagaimana posisi bola mata apakah ada juling, dan refleks pada kornea serta cover tes untuk melihat ada juling atau tidak," kata Feti.
Dia melanjutkan skrining berikutnya dilakukan pada usia 36 hingga 47 bulan atau sekitar 3 hingga 4 tahun. Pada usia ini anak seharusnya mampu mengukur ketajaman penglihatannya dan dapat mengidentifikasi sebagian besar optotipe pada baris 20/50 di masing-masing mata.
Dia menuturkan pemeriksaan dilakukan pada jarak 10 kaki (feet) atau 3 meter dan mata yang tidak diperiksa harus tertutup dengan benar. Skrining selanjutnya dilakukan ketika anak berusia di atas 60 bulan atau 5 tahun, katanya, dimana anak diharapkan dapat mengidentifikasi sebagian besar optotipe pada baris 20/30 di setiap mata, dan skrining ulang dianjurkan setiap tahun.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan sebagian pembiayaan kesehatan untuk ambliopia atau kasus-kasus anak lainnya akan ditanggung oleh BPJS jika mereka terdaftar sebagai peserta.
"Dalam rangka Hari Kesehatan Mata, kami benar-benar ingin mengingatkan kepada masyarakat, terutama untuk melakukan deteksi lebih dini, dan kalau memang kita perlu perkuat guru-guru di sekolah agar dapat memperhatikan anak didiknya. Kalau anak didik duduk pada jarak tertentu tapi tidak bisa baca, ini harus segera dikonsultasikan," kata Nadia.