Kamis 17 Oct 2024 10:55 WIB

Ekonom UGM: Pemerintah Baru Sebaiknya Fokus Perbaiki Ketahanan Ekonomi

Kemampuan pemerintah dalam mendongkrak ekonomi nasional cenderung rendah.

Akhmad Akbar Susamto
Foto: Antara
Akhmad Akbar Susamto

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKART -- Menjelang pergantian pemerintahan, kondisi ekonomi nasional bisa dibilang tidak terlalu buruk karena masih terdapat pertumbuhan pada angka 5 persen. Meskipun demikian, terdapat tantangan dari sisi ketahanan ekonomi. Pascapandemi, jumlah pekerja sektor informal  jauh lebih besar, yakni 84,13 juta orang atau setara dengan 59,17 persen dari total pekerja.

"Jadi kondisi ketenagakerjaan kita belum pulih sepenuhnya, tapi orang butuh makan. Jadi apa saja dikerjakan, serabutan begitu. Maka tidak heran kalau sektor informal meningkat," tutur ekonom UGM, Akhmad Akbar Susamto, Kamis (17/10/2024).

Pemerintahan Prabowo dan Gibran menurut dia justru akan sibuk menghadapi tantangan dari dalam sisi pemerintahannya sendiri. Sebab Kementerian Keuangan menyatakan terjadi defisit anggaran APBN per Juli 2024 sebesar Rp 93,4 triliun.

Walaupun dinyatakan angka tersebut masih sesuai dengan rancangan APBN, tetapi perlu diperhatikan bahwa hal ini berdampak pada ruang fiskal pemerintah. Akhmad memperkirakan hingga akhir tahun, kemampuan pemerintah dalam mendongkrak ekonomi nasional cenderung rendah. “Dana yang bisa diotak-atik itu lebih sedikit karena sudah ada alokasinya. Sisanya ini akan lebih kecil lagi karena ada janji-janji politik yang sudah disampaikan oleh pemerintahan lalu maupun nanti dari pemerintahan baru,” tutur Akhmad. 

Ia mencontohkan, jika pemerintah misalnya akan melanjutkan pembangunan IKN maka tentu butuh anggaran lagi. Belum lagi program baru pemerintah, seperti makan bergizi gratis yang juga membutuhkan anggaran besar.

Sedangkan dari sisi moneter, Akhmad memaparkan kondisi dan fakta lain yang dihadapi. Salah satu strategi Bank Indonesia dalam mempertahankan ekonomi nasional menetapkan suku bunga tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan ini dilakukan dengan mengacu pada kebijakan The Federal Reserve System (Fed) yang juga meningkatkan suku bunga sebagai respons atas inflasi di Amerika. Kemudian suku bunga Amerika turun sebesar 0,5 persen, tapi Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga di angka 6 persen. Strategi ini dilakukan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah.“Kemampuan sektor moneter dalam mendukung perekonomian nasional itu juga rendah sebenarnya. Segi moneter ini juga tidak bisa bergerak bebas, karena banyak bergantung pada kebijakan inflasi luar negeri,” jelas Akhmad. 

Maka dapat disimpulkan pada kebijakan fiskal maupun moneter, pemerintah nantinya mengalami kesulitan karena ruang gerak ekonomi yang sempit. Pertumbuhan ke depan mungkin cenderung stabil, tapi tidak bisa secara progresif meningkat.

Strategi untuk menghadapi tantangan tersebut menurutnya tentu tidak mudah. Akhmad menyarankan pemerintahan yang baru sebaiknya fokus memperbaiki ketahanan ekonomi. Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah selain dari sisi ekonomi, yakni memperbaiki sistem reward and punishment. Ia menyebutnya kondisi ekonomi sekarang ibarat masyarakat salah insentif.

"Ada kondisi di mana seseorang yang baik justru dihukum, dan yang buruk justru diberikan reward. Kondisi ini mengacu pada banyak fenomena yang menghambat masyarakat untuk berkembang,” katanya. 

Akhmad mengambil contoh industri kelapa sawit yang merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia. Berbagai isu sosial dan lingkungan muncul pada industri ini, sehingga tidak banyak pihak yang mau bekerja sama di dalamnya. "Ini bisa diatasi dengan penegakkan hukum. Jika pemerintah bisa memperkuat penegakkan hukum, maka bisa jadi masyarakat nantinya bisa tergerak untuk maju bersama," tuturnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement