Ahad 27 Oct 2024 16:44 WIB

Cepat dan Hemat dengan SPBUN Solusi Bagi Nelayan di Pesisir Pantura Jabar 

Kehadiran SPBUN mempermudah nelayan memperoleh bahan bakar untuk melaut.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Friska Yolandha
Ketua Koperasi Produsen Wana Pantai Tiris, Carikam, saat melayani pembelian solar nelayan. (Lilis Sri Handayani)
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Ketua Koperasi Produsen Wana Pantai Tiris, Carikam, saat melayani pembelian solar nelayan. (Lilis Sri Handayani)

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Deru suara mesin kapal berukuran tiga gross ton (GT) terdengar menyeruak di antara heningnya muara sungai di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jabar. Suara itu kemudian menghilang seiring mesin yang dimatikan dan kapal melaju perlahan ke pinggir muara.

Pemilik kapal, Turip Joni (52 tahun) pun memarkirkan kapalnya yang bernama ‘TJ’ di antara deretan ratusan kapal lainnya yang telah lebih dulu terparkir di sisi kanan dan kiri muara sungai. Kapal yang namanya diambil dari dua huruf depan namanya itu baru saja mengarungi perairan Indramayu. Dia melaut seorang diri, seperti kebiasaannya selama ini.

Baca Juga

Usai menambatkan tali kapalnya di pinggir muara, Turip pun naik ke daratan sambil membawa wadah ikan. Sejak berangkat pukul 04.00 WIB hingga kembali ke muara pukul 11.00 WIB, dia hanya berhasil menjaring lima kilogram cumi dan 40 kilogram ikan Pirik (ikan kecil untuk pakan bebek).

"Di laut lagi ‘sepi’, nelayan lagi paila (paceklik). Sekarang memang bukan musimnya cumi," ujar Turip kepada Republika, Senin (21/10/2024).

Menurut Turip, cuaca di laut sebenarnya bersahabat. Anginnya tenang dan ombak pun hanya riak-riak kecil yang mengayun lembut kapalnya. Namun, cuaca panas sepanjang musim kemarau tahun ini, membuat kadar garam pada air laut menjadi lebih tinggi.

Akibatnya, cumi, yang menjadi tangkapan  utama nelayan di Desa Limbangan, memilih untuk hidup di perairan lebih dalam, yang tidak dapat dijangkau oleh jaring nelayan tradisional di desa tersebut.

"Musim cumi biasanya dimulai bulan 11 (November) keatas, saat hujan mulai turun. Air laut sudah adem, gak terlalu asin karena bercampur air hujan. Cumi pada naik ke permukaan dan hidup di pinggir-pinggir perairan untuk bertelur," ucap Turip.

Saat itulah, Turip bisa membawa pulang tangkapan cumi di kisaran 20-25 kilogram per hari bahkan pernah hingga satu kuintal. Meski diakuinya, sesuai hukum ekonomi, saat pasokan cumi dari nelayan melimpah, maka harganya akan turun hingga di kisaran Rp 20 ribu per kilogram.

Berbeda dengan saat ini, dimana cumi langka di perairan, harga jualnya mencapai Rp 45 ribu per kilogram.

Turip pun langsung menjual cumi dan ikan Pirik hasil tangkapannya itu ke bakul ikan, yang sudah menunggu di pinggir muara. Dengan hasil lima kilogram cumi dikalikan Rp 45 ribu per kilogram dan 40 kilogram ikan Pirik yang dihargai Rp 2.000 per kilogram, maka uang yang diperolehnya sebesar Rp 305 ribu.

Dengan uang yang sudah dikantonginya, Turip kembali turun ke kapalnya untuk mengambil sebuah jeriken kosong berukuran sedang. Jeriken itupun dibawanya ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN) Solar untuk Koperasi (Solusi) 38.45217, yang hanya berjarak sekitar 15 meter dari tempat kapalnya ditambatkan.

Di SPBUN Solusi yang dikelola oleh Koperasi Produsen Wana Pantai Tiris itu, Turip membeli sekitar 32,3 liter solar bersubsidi seharga Rp 6.800 per liter. Solar itu akan digunakannya untuk melaut keesokan harinya.

Tak banyak nelayan yang membeli solar saat itu. Hanya puluhan orang saja. Dengan hasil tangkapan di laut yang sedang sepi, banyak nelayan yang memilih tidak melaut.

Kepada petugas di SPBUN Solusi, Turip kemudian menunjukkan barcode (kode batang), yang tercetak di lipatan kertas yang dimasukkannya ke dalam plastik klip bening. Barcode itu berisi data profilnya maupun ukuran kapalnya dan sebagai tanda ia berhak membeli solar bersubsidi dari SPBUN Solusi tersebut.

Setelah barcode dicek dan dipastikan kecocokannya dengan data yang ada pada sistem di SPBUN Solusi Desa Limbangan, petugas SPBUN pun langsung mengisikan solar pada jeriken milik Turip.

Setelah menyerahkan uang senilai Rp 220 ribu kepada petugas SPBUN, Turip bergegas membawa kembali jerikennya yang telah terisi solar ke kapalnya. Dia kemudian pulang ke rumahnya.

"Mau mandi dulu," ucap warga Desa Limbangan tersebut.

Selang dua jam kemudian, Turip kembali datang dan duduk santai di jondol (semacam saung/pos ronda) yang posisinya tepat di pinggir muara yang berseberangan dengan SPBUN Solusi. Dia mengaku biasa menghabiskan waktu sampai sore sambil bermain catur atau sekedar ngobrol dengan nelayan-nelayan lainnya.

Namun, karena hari itu banyak nelayan yang tidak melaut, suasana jondol itupun menjadi sepi. Hanya ada Turip dan dua nelayan lainnya.

Turip menuturkan, sangat terbantu dengan adanya SPBUN Solusi di desanya. Dia mengaku bisa memperoleh solar bersubsidi dengan cepat dan lebih hemat.

Sebelum ada SPBUN Solusi, Turip harus membeli solar bersubsidi di SPBU yang berjarak sekitar 400 meter. Meski tak terlalu jauh, namun SPBU tersebut lokasinya di pinggir jalan raya penghubung Indramayu – Cirebon dan melayani seluruh kendaraan.

Akibatnya, antrean bagi nelayan yang membeli solar menjadi panjang. Apalagi, nelayan yang membeli solar di SPBU itu berasal dari berbagai desa lainnya.

"Antrenya bisa berjam-jam. Membuang waktu," kata pria yang sudah menjadi nelayan sejak masih kanak-kanak tersebut.

Jika tak ingin capek mengantre, maka Turip akan menyuruh tukang ojeg untuk membelikan solar ke SPBU tersebut. Bayaran kepada tukang ojeg itu sebesar Rp 10 ribu.

Turip mengaku, jika hasil tangkapannya sedang melimpah, maka bayaran Rp 10 ribu kepada tukang ojeg akan terasa ringan baginya. Namun jika tangkapan sedang minim seperti sekarang, maka uang Rp 10 ribu pun sangat berarti. 

Turip mengatakan, dari uang Rp 305 ribu yang diperolehnya dari melaut saat itu, digunakan untuk membeli  solar Rp 220 ribu. Selain itu, adapula yang digunakannya untuk membeli perbekalan melaut.

"Hanya tersisa Rp 30 ribu. Kalau harus beli solar ke depan (SPBU) dan nyuruh tukang ojeg, maka uang yang dibawa pulang akan semakin berkurang. Makanya ada SPBUN Solusi di sini bisa membuat lebih hemat, bisa beli solar sendiri, gak perlu nyuruh tukang ojeg," tukas ayah tiga anak dan kakek satu orang cucu tersebut.

Tak hanya lebih cepat dan lebih hemat, Turip mengaku tak perlu dipusingkan dengan mengurus berbagai administrasi untuk bisa memperoleh solar bersubsidi. Menurutnya, segala administrasi itu telah diurus oleh pengelola Koperasi Wana Pantai Tiris.

Hal senada diungkapkan nelayan lainnya, Turah (55). Dia pun mengaku sangat terbantu dengan adanya SPBUN Solusi, yang lokasinya dekat dengan pendaratan kapal nelayan.

"Enak, sekarang lebih dekat, gak perlu antre lama. Dulu mah capek, antre ke SPBU sampai berjam-jam," ucap Turah.

Turah baru saja membeli dua jeriken solar di SPBUN Solusi Desa Limbangan. Setiap jeriken miliknya masing-masing berkapasitas 40 liter.

"Saya beli dua jeriken untuk melaut selama dua hari. Besok pagi berangkatnya, sekitar pukul 02.00 WIB," kata Turah.

Turah mengakui, cumi yang menjadi tangkapan utamanya saat ini sedang langka di perairan. Karena itu, dia akan berusaha mencari ikan lainnya untuk menutupi modal sebesar Rp 400 ribu yang dikeluarkannya untuk membeli solar. Modal itu belum termasuk untuk membeli perbekalan melaut selama dua hari dan es batu untuk mengawetkan hasil tangkapannya.

"Sekarang lagi paila (paceklik). Tapi mau gimana lagi, memang kerjaan saya nelayan. Jadi ya tetap berangkat melaut. Dapatnya ya tergantung rezeki," ungkap Turah.

Sementara itu, di saat bersamaan, seorang perempuan dengan kepala tertutup topi camping (topi petani), datang ke SPBUN Solusi Desa Limbangan dengan mengendarai sepeda motor. Di bagian depan motornya terdapat sebuah jeriken kosong berukuran sedang.

Wanita bernama Toniah (42) itu ingin membeli solar. Dia pun menunjukkan barcode dan dinyatakan berhak membeli solar bersubsidi dari SPBUN tersebut.

"Untuk keperluan suami saya melaut besok pagi," kata Toniah.

Toniah mengaku terbiasa melakukannya karena merasa kasihan melihat suaminya yang kecapekan setiap kali pulang melaut. Suaminya terbiasa berangkat dini hari sekitar pukul 01.00 WIB atau 03.00 WIB, dan baru kembali sekitar pukul 12.00 WIB.

Toniah baru datang ke SPBUN Solusi Desa Limbangan sekitar pukul 15.30 WIB. Dia mengaku baru sempat ke SPBUN tersebut karena baru selesai bekerja di sawah sebagai buruh tani. 

"Mending sekarang sih beli solarnya dekat, antrenya juga tidak terlalu lama. Kalau dulu biasanya beli di SPBU, lebih jauh, antrinya lama, jadi capek," tutur Toniah.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement