Senin 28 Oct 2024 20:16 WIB

Tahap Menuju Kesadaran Sufi ala Imam Ghazali

Dalam Ihya Ulum ad-Din, Imam Ghazali memaparkan pemikirannya tentang jenjang sufi.

Teladan Imam Ghazali
Foto: republika
Teladan Imam Ghazali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu legasi gemilang Imam Ghazali ialah Ihya Ulum ad-Din. Judul kitab itu secara harfiah berarti ‘menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.’ Karya itu ditulis dalam masa pengembaraannya pascahijrah dari popularitas di Baghdad. Dari kota ke kota—Damaskur, Yerusalem, Makkah, dan Tus—serta dalam jangka waktu beberapa tahun, akhirnya sang Hujjatul Islam mampu menyelesaikan risalah tersebut.

Ihya Ulum ad-Din memadukan antara disiplin fikih, filsafat, dan tasawuf. Semuanya seiring lantaran berdasarkan Alquran dan Sunnah.

Baca Juga

Di antara pokok pembahasan dalam Ihya adalah jenjang-jenjang (maqamat) yang mesti dilalui seorang murid agar dapat menjadi sufi. Keenam jenjang itu sebagai berikut, seperti dirangkum dalam Ensiklopedi Islam.

Pertama, tobat. Pertobatan yang ideal mencakup tiga hal sekaligus, yakni ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu berarti mengetahui bahaya dosa besar. Dari pengetahuan itu, seseorang akan menyikapinya dengan kesedihan dan penyesalan. Hal itu diterjemahkan ke dalam tindakan, yaitu berjanji pada diri sendiri agar tak mengulangi kesalahan yang sama.

Kedua, sabar. Artinya, daya dalam diri seseorang untuk berbuat baik sudah mampu mengalahkan daya untuk berbuat jahat. Ini memerlukan latihan. Imam Ghazali menyarankan beberapa hal yang dapat dirutinkan. Misalnya, mengurangi syahwat perut. Sebab, keadaan kenyang membuat orang cenderung mudah alpa, daripada orang yang lapar. Kemudian, memelihara pandangan mata agar terjaga dari hal-hal yang syubhat apalagi haram. Dalam hal ini, sangat dianjurkan untuk menjauhi hingar-bingar keramaian meski tak berarti asosial.

Ketiga, fakir. Jenjang ini tak berarti membuat seseorang sengsara. Sebab, makna sesungguhnya adalah, seseorang berupaya menghindarkan diri dari hal-hal yang penuh keraguan (syubhat) meskipun orang itu mampu melakukannya. Pada titik ini, perlu untuk mempertajam sikap hati-hati (wara’).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا
Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.

(QS. An-Nisa' ayat 136)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement