FLP Jawa Barat membedah dan menelaah sebuah novel sejarah berjudul “Nona Jepun” karya penulis senior Sinta Yudisia melalui virtual zoom pada hari Ahad (3/11/2024 dan diikuti 70-an pengurus dan anggota FLP dari berbagai wilayah . Hadir sebagai panelis yang menkritisi karya tersebut, Ketua FLP Jawa Barat, Kang H.D. Gumilang serta penulis sekaligus editor, Kang Yoga Palwaguna..Ketua panitia yang juga penulis muda berbakat, Mas Sangaji Munkian dalam sambutannya menyatakan, “Nona Jepun bukan sekadar novel fiksi, tetapi novel ini memiliki nilai sejarah dan menyajikan realita yang relevan untuk ditelaah lagi. Kita harus menyampaikan sejarah masa lalu kita, tetapi sejarah bukan hanya sejarah, kita perlu mengaitkan sejarah dengan fiksi karena fiksi salah satu cara merekatkan masa lalu dan masa sekarang agar lebih bisa dipahami lagi.” Sinta Yudisia adalah penulis yang telah melahirkan puluhan karya dalam bentuk novel, kumpulan cerpen, dan berbagai karya literasi lainnya. “Nona Jepun” adalah novel ke-23 yang telah ditulisnya dan berlatar penjajahan Jepang tahun 1942-1943 hingga 2016. Penulis berusaha mengulik bagaimana peran dan posisi perempuan di masa penjajahan Jepang. Tokoh yang diangkat dalam cerita ini mengajarkan bagaimana seseorang bertahan hidup di masa itu. Mbak Sinta memesankan kepada pembaca, “Kepahitan hidup kadang tak tertanggungkan. Kisah Ndaru semoga menjadi inspirasi siapapun terutama perempuan, bahwa hidup pada akhirnya akan menemukan bintang terang seperti nama Ndaru.”Dalam buku ini diceritakan bahwa Ndaru, seorang gadis yang lahir dari keluarga miskin dengan latar belakang keluarganya buruh di perkebunan tebu milik penjajah. Penulis memotret kehidupan Ndaru dalam keluarga, cita-cita, juga pernikahan yang dijalaninya. Dalam perjalannya Ndaru juga harus melewati kehidupannya sebagai Jugun Ianfu, wanita penghibur yang harus melakukan layanan seksual kepada anggota tentara Jepang yang melakukan pendudukan di berbagai wilayah, di antaranya Indonesia. Kondisi ini yang kadang memicu pelaku sejarah di masa itu, khususnya perempuan mewariskan trauma antar generasi (red. transgenerational trauma)Yang menarik dari kegiatan hari ini adalah keberaniaan penulis untuk dikritik karyanya oleh penulis-penulis lain juga peserta yang hadir. Beberapa catatan yang diberikan Kang H.D. Gumilang dan Kang Yoga adalah kritik yang membangun. Kesalahan penulisan, lost information, adanya ahistoris, dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan penulis adalah hal yang manusiawi karena sejatinya kesempurnaan hanya milik yang Maha Mencipta. Bicara membedah, ternyata konteksnya bukan sekadar mengagungkan isinya, melainkan juga perlu mengulik sisi-sisi yang perlu diperbaiki agar menjadi lebih baik dan mendekati kebenaran. Khususnya para penulis novel dengan nilai sejarah tentu membutuhkan ikhtiar lebih dibanding novel-novel yang goal-nya sekadar meng-entertain pembaca. Hal penting dalam menulis novel sejarah disampaikan oleh Kang H.D. Gumilang adalah kuat dalam literasi sejarah agar tidak mengalami banyak ahistoris, sehingga perlu penguatan kondisi sosial juga karakter karena ini kaitannya dengan istilah zeitgeist atau jiwa jaman, sebuah istilah yang memotret pemikiran dominan pada suatu masa yang menggambarkan dan mempengaruhi sebuah budaya dalam masa itu sendiriMenulis sejarah memang butuh moodbooster yang agak berbeda, namun selagi kemauan ada maka akan lahir novel-novel sejarah lainnya karena Indonesia tidak miskin sejarah yang bisa digali. Ini menjadi tantangan bagi para penulis genre fiksi maupun non fiksi untuk mengungkap sejarah-sejarah yang yang masih tersembunyi. Melalui tulisan dengan value sejarah maka itu ikhtiar untuk menyambungkan sejarah masa lalu kepada generasi-generasi setelahnya yang tidak terlibat secara langsung agar tidak mengalami diskoneksi terhadap sejarah. Penjajahan yang menyisakan trauma tersendiri bagi pelaku sejarah secara khusus para Jugun Ianfu harus menjadi pengingat generasi sesudahnya agar belajar dari pengalaman sebelumnya, Nabi mengingatkan,لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ “Seorang mukmin tidak boleh jatuh ke satu lubang dua kali,” (HR. Bukhari dan Muslim).Wallahu a’lam bish shawab. (Ummu Ahya Gyantie)