REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Era keemasan Baghdad berlangsung dalam masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid (786-809) dan Khalifah Al Ma'mun (813-833).
Selama keduanya berkuasa, terdapat sebuah pusat studi keilmuan yang sangat masyhur, yakni Bait al-Hikmah. Nama itu secara harfiah berarti 'rumah kebijaksanaan.'
Sejarah Bait al-Hikmah adalah bagian dari histori kecintaan penguasa-penguasa Muslim akan pustaka secara keseluruhan. Sewaktu Muslimin masih bersatu di bawah Dinasti Umayyah, para khalifahnya membangun perpustakaan besar.
Di istana, pendiri dinasti tersebut, Muawiyah bin Abi Sufyan, mendirikan perpustakaan pribadi yang juga disebut Bait al-Hikmah. Isi ruangan besar itu tidak hanya buku-buku berbahasa Arab, tetapi juga manuskrip-manuskrip Yunani dan Latin.
Begitu tatanan Umayyah lenyap dan Abbasiyah mencuat, pusat kekhalifahan pun beralih ke Irak khususnya Baghdad. Berbeda dengan dinasti sebelumnya, Abbasiyah memiliki keterikatan politik dan budaya dengan bangsa non-Arab (mawali), yakni Persia.
Alhasil, beberapa tradisi mawali tersebut kemudian diadopsi para penguasa Muslim- Arab keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Salah satunya ialah sistem kelola perpustakaan.
Rintisan awal Bait al-Hikmah ala Abbasiyah ialah perpustakaan pribadi yang didirikan Khalifah al-Manshur. Dia tertarik pada kebiasaan orang-orang (elite) Persia dalam mengelola pusat-studi negara, yakni dengan menggalakkan penerjemahan teks-teks asing.
Dengan begitu, perpustakaan tidak sekadar tempat mengoleksi pustaka sebanyak-banyaknya. Bila pada masa Imperium Sassaniyah dahulu berbagai manuskrip dari luar diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, kini penerjemahan itu dilakukan dalam bahasa Arab.
Abbasiyah diuntungkan oleh situasi zaman. Pada 751 M, negeri Islam itu terlibat pertempuran dengan Dinasti Tang. Waktu itu, pasukan Muslim bersekutu dengan Kerajaan Tibet yang kian terjepit oleh ekspansi Cina. Aliansi Abbasiyah-Tibet berhadapan dengan Tang di sekitar Sungai Talas, perbatasan negara Kirgizstan dan Kazakhstan modern. Perang Talas pada akhirnya dimenangkan Abbasiyah.
Cukup banyak tentara musuh yang berhasil ditawan. Beberapa di antaranya belakangan di ketahui ahli dalam membuat kertas. Menurut sejarawan Muslim dari abad ke-11, Thaalibi, inilah mulanya umat Islam mengadopsi teknologi kertas dari China. Tak membutuhkan waktu lama, pabrik kertas pertama dalam sejarah Islam pun berdiri di Samarkand yang kala itu sudah dikuasai Abbasiyah.
Hingga era Khalifah Harun Al Rasyid, industri kertas tumbuh subur di Irak. Permintaan publik akan alas tulis itu pun terus melonjak. Imbasnya, toko-toko kertas bermunculan di Baghdad. Seturut dengan itu, geliat literasi, baik pada tataran elite maupun umum, semakin terasa.
Khususnya bagi kalangan istana, adanya kertas membuat proyek penerjemahan di Bait al-Hikmah menjadi sangat mudah dan murah. Teks-teks asing yang mulanya tergurat pada berbagai medium yang mudah rusak, seperti gulungan papirus, permukaan batu, atau kulit hewan, kini bisa disalin ulang pada lembaran-lembaran kertas yang pasokannya melimpah. Hasil salinan itu kemudian dialihbahasakan secara cermat oleh para pegawai kerajaan.