Ahad 17 Nov 2024 11:36 WIB

Pemimpin G20 Didesak Beri Sinyal Tegas Soal Pendanaan Iklim

Negara G20 didesak mempercepat peralihan dari bahan bakar fosil ke energi bersih.

Rep: Lintar Satria/ Red: Qommarria Rostanti
Logo G20 Brasil 2024 (ilustrasi). Ketua badan perubahan iklim PBB (UNFCCC) Simon Stiell mendesak pemimpin-pemimpin G20 mengirim sinyal dukungan ke pendanaan iklim.
Foto: EPA-EFE/Isaac Fontana
Logo G20 Brasil 2024 (ilustrasi). Ketua badan perubahan iklim PBB (UNFCCC) Simon Stiell mendesak pemimpin-pemimpin G20 mengirim sinyal dukungan ke pendanaan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- Ketua badan perubahan iklim PBB (UNFCCC) Simon Stiell mendesak pemimpin-pemimpin perekonomian terbesar di dunia mengirim sinyal dukungan ke pendanaan iklim ketika mereka berkumpul di Brasil pada pekan depan. Desakan ke G20 ini disampaikan ketika negosiasi untuk meningkatkan pendanaan untuk penanggulangan perubahan iklim di Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) di Azerbaijan mengalami kebuntuan.

"Pertemuan pekan depan harus mengirim sinyal global yang jelas," kata Stiell dalam suratnya ke pemimpin-pemimpin G20, Ahad (16/11/2024).

Baca Juga

Ia mengatakan sinyal itu harus mendukung peningkatan hibah dan pinjaman serta pemutihan utang. "(Sehingga negara-negara paling rentan) tidak terhambat pembayaran utang yang akan membuat semua aksi iklim menjadi tidak mungkin," katanya.

Dalam pernyataan terpisah para pemimpin bisnis juga menyampaikan desakan serupa. Mereka mengatakan khawatir dengan "lemahnya kemajuan dan fokus di Baku."

"Kami mendesak pemerintah-pemerintah yang dipimpin G20, untuk segera bertindak dan menerapkan kebijakan yang akan mempercepat peralihan dari bahan bakar fosil ke energi bersih di masa depan, untuk membuka investasi penting sektor swasta yang dibutuhkan," kata koalisi-koalisi bisnis termasuk We Mean Business Coalition, United Nations Global Compact dan Brazilian Council for Sustainable Development.

Keberhasilan COP29 tergantung pada apakah negara-negara dapat menyepakati target pendanaan iklim baru. Dana yang berasal dari negara-negara kaya dan sektor swasta digunakan untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Para ekonom mengatakan negara-negara berkembang membutuhkan setidaknya 1 triliun dolar AS per tahun sampai akhir dekade untuk bisa menghadapi perubahan iklim. Namun kemajuan negosiasi di pertemuan yang berlangsung selama dua pekan ini berjalan lambat.

Pada awal pekan ini teks rancangan kesepakatan setebal 33 halaman dan berisi berbagai opsi. Pada Sabtu ini teks itu menipis menjadi 25 halaman.

Utusan Iklim Swedia Mattias Frumerie mengatakan negosiasi iklim belum memecahkan masalah paling pelik. Yaitu berapa besar target dana iklim seharusnya atau negara mana saja yang harus berkontribusi.

"Perpecahan yang kami lihat saat tiba di pertemuan ini masih ada, yang mana akan memberikan beban kerja yang berat untuk kementerian pekan depan," katanya.

Negosiator Eropa mengatakan negara-negara penghasil minyak termasuk Arab Saudi juga memblokir diskusi mengenai bagaimana transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi bersih dilakukan. Pemerintah Arab Saudi belum menanggapi permintaan komentar.

Seorang negosiator negara Eropa mengatakan kemajuan masalah ini masih mengalami kebuntuan. Menteri Energi Uganda Ruth Nankabirwa mengatakan negaranya memprioritaskan untuk mencapai kesepakatan mengenai pendanaan terjangkau untuk proyek-proyek energi bersih di COP29.

"Ketika Anda melihat ke sekeliling dan anda masih tidak memiliki uang, maka kami bertanya-tanya apakah kami akan pernah menempuh perjalanan transisi energi yang sesungguhnya," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement