REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sunan Gunung Jati tampil di barisan terdepan. Berbeda dengan kebanyakan Wali Songo, dia bukan sekadar alim, melainkan juga pemimpin politik (amir). Kekuasaannya di Cirebon bermula setelah berhasil menyebarkan Islam di wilayah-wilayah Banten.
Dia kemudian memenuhi panggilan adipati Cirebon saat itu yang juga kerabatnya sendiri. Adapun perkembangan dakwah di Banten untuk sementara diamanatkan kepada putranya, Hasanuddin.
Sunan Gunung Jati naik menggantikan adipati sebelumnya sebagai penguasa Cirebon. Selama menduduki jabatan di Keraton Pakungwati, dia meningkatkan kekuatan maritim armada Cirebon. Di samping itu, sentra-sentra Islam juga dibangunnya, antara lain berupa Masjid Merah Panjunan (1480) dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa (1500).
Menurut Prof Hamka dalam Sejarah Umat Islam, ada kemungkinan motif lain dari keputusan adipati Cirebon itu untuk mengusir Portugis. Sejak 1521, bangsa Eropa itu menjajah Pasai, yang tidak lain merupakan kota kelahiran Sunan Gunung Jati.
Oleh karena itu, semangatnya kian berkobar untuk mengalahkan Portugis. Pertama-tama, dia meningkatkan kerja sama dengan pusat kedaulatan Islam di Pulau Jawa saat itu, Kesultanan Demak, yang dipimpin Sultan Trenggono.