REPUBLIKA.CO.ID, Konsep gharar merupakan transaksi yang mengandung unsur ketidakjelasan dan ketidakpastian sehingga dapat merugikan salah satu pihak. Dalam pandangan ulama, gharar didefinisikan oleh As-Sarokhsi al-Hanafi sebagai sesuatu yang akibatnya tidak diketahui atau tertutup.
Muhammad Abdul Wahab, Lc, dalam bukunya Gharar Dalam Transaksi Modern, menjelaskan, larangan gharar dalam Islam didasarkan pada dalil-dalil Al-Qur'an, salah satunya QS An-Nisa ayat 29. Dalam ayat tersebut Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang kalian saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian. (QS An-Nisa ayat 29)
Meskipun ayat ini tidak secara langsung menyebutkan jual-beli gharar, terdapat dua poin yang mengarah pada keharamannya. Pertama, larangan memakan harta orang lain secara batil, yang meliputi transaksi-transaksi terlarang seperti mencuri, riba, judi, dan gharar. Kedua, adanya kewajiban saling ridha dalam jual-beli, yang tidak dapat terpenuhi dalam transaksi gharar karena menimbulkan potensi kerugian bagi salah satu pihak.