Oleh: Alwi Shahab*)
Beruntunglah mereka yang menunaikan ibadah haji pada masa modern kini. Hanya dalam waktu sembilan jam penerbangan, jamaah sudah bisa sampai di Tanah Suci. Sekembalinya dari menunaikan rukun Islam kelima, mereka dapat langsung bertemu lagi dengan keluarga dan kerabatnya.
Namun, tidak demikian keadaannya pada masa-masa lalu. Lebih-lebih ketika transportasi ke Arab masih menggunakan kapal layar. Perlu waktu berbulan-bulan, bahkan bilangan tahun, untuk bepergian dari Tanah Air ke Tanah Suci.
Bila hendak menunaikan rukun Islam kelima itu, jamaah seolah-olah siap mati dan ditangisi sanak keluarga. Walau ibadah haji bagi mereka yang mampu, dalam dada tiap Muslim tertanam cita-cita untuk melaksanakannya.
Pada abad ke-16 saat awal-awal Islam di Indonesia, telah terjalin hubungan dengan Makkah. Pada 1630-an, raja Banten dan raja Mataram menunaikan rukun Islam kelima. Rombongan utusan dari Banten baru kembali pada 1638 dan dari Mataram baru sampai 1641. Beberapa tahun kemudian, pada 1674 untuk pertama kali seorang pangeran Jawa naik haji, yakni putra Sultan Agung Tirtajasa dari Banten bernama Abdul Dohhar yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji.
Pada masa-masa berikutnya, makin banyak umat Islam Indonesia melaksanakan ibadah haji. Salah satu sejarah ibadah haji yang kini masih kita dapati adalah di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Tepatnya di Onrust, pulau terdekat dengan Jakarta dan dapat ditempuh dengan menggunakan perahu tradisional dalam waktu 10–15 menit.
Pulau ini merupakan saksi sejarah pelaksanaan ibadah haji awal abad ke-20, tepatnya pada 1911. Ketika pemerintah Hindia Belanda menjadikannya sebagai Karantina Haji bagi para jamaah yang baru kembali dari tanah suci. Tujuannya adalah untuk mencegah ancaman penyebaran penyakit menular yang mungkin dibawa oleh para jamaah sekembalinya mereka dari Makkah.