REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sejumlah daerah di Indonesia sudah melaksanakan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Januari 2025 ini. Dosen Program Studi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Agung Nugroho pun menekankan sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan program ini.
Menurut Agung, penyajian menu, antisipasi potensi keracunan, hingga dampak harus menjadi perhatian dalam Program MBG. Potensi keracunan dan penanganannya harus diwaspadai mengingat makanan diberikan dalam jumlah besar.
“Makanan itu kalau sekali keracunan ya 3.000 (jumlah porsi menu yang dibuat setiap Satuan Pelayanan Penyediaan Gizi/SPPG). Saya belum lihat (ada kasus keracunan), semoga enggak ada kasus keracunan. Itu dalam konteks kesehatan kalau KLB penanganan gimana,” kata Agung, Kamis (16/1/2025).
Ketersediaan bahan baku untuk membuat menu makanan juga harus menjadi perhatian dalam MG ini. Agung menyarankan agar dalam satu daerah tidak membuat menu yang sama dalam waktu berbarengan.
Menurutnya, strategi tersebut untuk menghindari kelangkaan atau kekurangan bahan baku tertentu. “Misal satu dapur 3.000 kebutuhan telur, dikali beberapa lokasi dalam satu daerah, kalau bareng bisa terjadi kelangkaan telur beneran ini. Itu manajemen bahan pangan harus bagus itu,” ucap Agung.
Meski begitu, Agung menuturkan MBG ini harus dilihat sebagai sebuah investasi. Karena itu, dampak dari program ini tidak bisa dilihat dalam waktu dekat.
“Kita harus berpikirnya investasi, istilahnya menanam pohon sekarang enggak mungkin dapat hasilnya sekarang juga. Menanam kan pasti jangka panjang, apalagi ini konteksnya sumber daya manusia,” ungkap Agung.
Dampak positif dari program ini menurutnya tidak hanya dari segi peningkatan kualitas SDM. Namun, ada dampak lain yang bisa dirasakan, contohnya ekonomi. Sebab, melalui program ini bisa menggandeng masyarakat lokal dalam pemenuhan kebutuhan olahan makanan.
“Konsepnya pemberdayaan masyarakat. Misal di dekat dapur itu ada lahan yang bisa untuk pemberdayaan masyarakat petani, bisa diberdayakan untuk memenuhi bahan pangan. Kalau di perkotaan sebetulnya bisa menumbuhkan urban farming,” katanya.
Selain itu, dalam program ini juga bisa diselipkan edukasi. Mulai dari membiasakan anak berdoa sebelum makan, kemudian bisa diajarkan mencuci alat makan setelah makan.
“Kemudian misal ada sisa lauk tiga, tidak dibuang, ditawarkan ke teman-teman yang mau lima ternyata. Kan anak harus memecahkan masalah itu. Daging tiga yang mau lima anak, itu kan edukasi, problem solving,” jelasnya.
Agung juga menyinggung terkait anggaran MBG sebesar Rp 10.000 per porsi. Menurutnya, jumlah tersebut bisa untuk bahan pangan yang memenuhi kebutuhan gizi. Namun, hal itu harus melihat masing-masing daerah mengingat bahan pangan di beberapa daerah di Indonesia cukup mahal.
“Mungkin kalau Maluku atau Papua kalau memenuhi Rp 10.000 susah, karena harga bahan pangan mereka sudah tinggi, tapi itu kan bukan patokan mati. Range terendah Rp 10.000 sampai bisa Rp 15.000 biasanya. Sangat enggak mungkin kalau semua Rp 10.000,” jelasnya.
Dalam pelaksanaan program ini menurutnya juga ada tantangan, salah satunya menyesuaikan rasa makanan dengan selera ribuan orang yang menerima program itu. Untuk mengakomodasi selera secara umum, bisa dilihat dari sisa makanan.
“Misal satu menu itu banyak tersisa harus diganti, dievaluasi, karena itu ada protapnya. Tingkat kesukaannya, sisa makanan itu harus dicatat, mana paling disukai, mana yang enggak,” ujar Agung.