REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Beredarnya peraturan gubernur soal syarat berpoligami bagi aparatur sipil negara (ASN) di Jakarta ramai jadi sorotan belakangan. Ternyata, regulasi itu punya sejarah panjang dan terkait erat dengan ibu negara Tien Soeharto.
Merujuk arsip Harian Republika, alkisah, pada awal 1980-an, ada geger-geger di kalangan Dharma Wanita, alias perhimpunan istri-istri pegawai negeri. Kala itu, marak laporan dari anggota Dharma Wanita di berbagai wilayah soal polah laki mereka. Di antara laporan itu adalah tingginya kasus poligami, praktik pernikahan dibawah tangan yang dilakukan oleh pejabat negara, bahkan perceraian yang dilakukan sewenang-wenang.
Ramai-ramai kala itu disirami juga dengan isu perselingkuhan Pak Harto dengan salah seorang artis ibu kota. Presiden sampai harus mengeluarkan sangkalan dalam pidatonya di acara ulang tahun komando pasukan Sandi Yudha. Pak Harto menjelaskan bahwa sas-sus itu sengaja dihembuskan untuk menghalangi agenda politiknya, serta mencemarkan nama baik yang bersangkutan.
Mendengar aduan di kalangan Dharma Wanita serta isu yang mendera suaminya, ibu negara Siti Hartinah alias Tien Soeharto tak terima. Bukan rahasia, Bu Tien adalah penentang poligami. Ia disebut juga berada di balik Undang-Undang Perkawinan 1974 yang rancangan awalnya sempat membuat geram sejumlah elemen umat Islam Indonesia. Atas kemarahan Ibu Tien tersebut, akhirnya dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS.
“Jadi memang dari Bu Tien itu peraturan, menanggapi protes di Dharma Wanita,” ujar Nurlailiyah, mantan anggota Dharma Wanita di jajaran Departemen Agama kepada Republika. Ia mengenang, kala itu Dharma Wanita di Departemen Agama jadi ujung tombak sosialisasi beleid persyaratan poligami tersebut. “Sepuluh tahun kayaknya kami ke instansi-instansi yang lain untuk memberikan penyuluhan,” kata dia yang dulu mengikuti suami bertugas ke Papua Barat pada pertengahan 1980-an.
Pasal 10 PP Nomor 10/1983 jo PP Nomor 45/1990 itu mengatur persyaratan alternatif yang harus terpenuhi salah satunya oleh PNS pria untuk dapat beristri lebih dari seorang. Diantaranya istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat kumulatif adalah ada persetujuan tertulis dari istri; PNS pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Pejabat pemerintah juga tidak boleh memberikan izin bagi PNS pria yang mengajukan izin untuk beristri lebih dari seorang apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; tidak memenuhi syarat alternatif dan syarat kumulatif; bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Seluruh syarat alternatif dan kumulatif dalam PP Nomor 10/1983 itu disalin dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian untuk Aparatur Sipil Negara (ASN).
Selain itu, ada sejumlah tambahan syarat yang lebih memberatkan ASN pria yang hendak melakukan poligami. Diantaranya jangka waktu 10 tahun tak bisa memiliki keturunan dan adanya putusan pengadilan mengenai izin beristri lebih dari seorang. Soal jangka waktu tak diatur dalam PP 10/1983, demikian juga izin berpoligami hanya disyaratkan keluar oleh atasan dalam regulasi sebelumnya.
Kedua beleid, baik PP Nomor 10/1983 maupun Pergub Nomor 2/2025 mengatur sanksi disipliner bagi ASN yang tak memenuhi syarat-syarat di atas. Kedua peraturan juga melarang ASN perempuan dimadu atau menjadi madu.
Lihat postingan ini di Instagram
Upaya revisi...