Senin 03 Mar 2025 17:53 WIB

Asal Mula Garong, Romusa Ngamuk, dan Minoritas Cina

Pada masa revolusi kemerdekaan, muncul istilah garong. Orang-orang Cina sebagai minoritas yang berlindung pada Belanda/Sekutu, menjadi sasaran aksi mereka. Gabungan Romusa Ngamuk menjadi kelompok yang ditakuti saat itu.

Rep: oohya! I demi Indonesia/ Red: Partner
.
Foto: network /oohya! I demi Indonesia
.

Kawanan perampok bank ditangkap polisi. KBBI menyebut istilah lain dari perampok adalah garong. Dari mana asal-usul kata garong? Sumber:a ntara/republika

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat, garong adalah perampok, pencuri, penyamun. Pada tahun 1930-an, garong dipasangkan dengan kucing, muncullah istilah kucing garong di Jawa dan ucing garong di Sunda untuk menyebut kucing liar. Garong dalam bahasa Jawa artinya menggeram.

Pada masa revolusi kemerdekaan itu, Garong termasuk kelompok yang diburu polisi Belanda. Mereka disebut sebagai pejuang ilegal, tergabung dalam Gabungan Romusa Ngamuk, yang bersama-sama orang-orang Republik menyerbu kawasan-kawasan yang dikuasai Belanda/Sekutu.

Pada masa itu, orang-orang Cina yang menjadi minoritas di berbagai daerah berlindung kepada Sekutu/Belanda. Akibat penyerbuan itu, orang-orang Cina menjadi korban.

Di Tangerang, misalnya, ada sekitar 40 ribu orang Cina, 70-100 di antaranya, menurut Palang Merah Indonesia, menjadi korban terbunuh. Namun, Sekutu menyebutkan ada 600 orang Cina yang menjadi korban terbunuh (Nieuwsblad van het Zuiden, 6 Juni 1946).

Orang-orang Republik itu ada beragam kelompok. Ada Laskar Rakyat, Banteng Merah, Banteng Item, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Gabungan Romusa Ngamuk (Garong).

Garong dikenal sebagai kelompok yang melakukan pencurian dan perampokan (Het Dagblad, 19 Juli1946; Indische Courant voor Nederland, 16 April 1949). Kelompok ini bahkan tak segan menculik orang-orang Cina.

Garong, tulis Het Dagblad, "Dipimpin oleh seorang ketua gerombolan yang ditakuti sebagai gembong begal di daerah itu." Seperti diberitakan Het Dagblad edisi 14 Juni 1946, Garong menculik 10 orang Cina di Padalarang dan Cimahi.

Satu orang dibebaskan setelah meminta tebusan 40 ribu gulden dari keluarganya. Sembilan lainnya tak jelas nasibnya.

Tabrani, atas nama pemerintah, meminta maaf atas konflik-konflik yang menimpa orang-orang Cina pada masa Revolusi Kemerdekaan ini. Tabrani menjadi kepala Bagian Urusan Minoriteit Kementerian Dalam Negeri (sebelum berdiri RIS disebut Bagian Urusan Peranakan dan Bangsa Asing).

“Republik telah memiliki peraturan tersebut pada tahun 1946, yang menetapkan bahwa peranakan, baik keturunan Belanda, Cina, atau Arab, secara otomatis menjadi warga negara Republik jika ia tetap pasif,” ujar Tabrani seperti dikutip Java Bode, 15 November 1949.

Membuka lembaran baru, menurut Tabrani, syarat utama menyelesaikan persoalan minoritas adalah adanya keamanan dan kepastian hukum. Ini terkait dengan kesejahteraan rakyat.

Sebab, jika ada kemiskinan, keamanan dan kepastian hukum susah diwujudkan. Karenanya, Tabrani menyarankan agar kaum minoritas juga memberikan upaya terciptanya kesejahteraan rakyat (Indische Courant voor Nederland, 23 November 1949).

Meningkatkan kesejahteraan rakyat, di masa itu dinilai Tabrani menjadi salah satu strategi untuk menghalau pengaruh komunisme, selain membuat program untuk pemuda. Menurut Tabrani, kemiskinan adalah tempat terbaik berkembangnya komunisme.

Agar para pemuda tidak bertekuk ada komunisme, maka para pemuda harus dibuat sibuk dengan berbagai kegiatan: olahraga dan membaca. Maka perlu disediakan ruang-ruang baca di barbagai tempat.

“Anak laki-laki harus belajar dan berolahraga. Jika mereka pulang ke rumah dalam keadaan sudah lelah di malam hari, maka mereka tidak punya waktu untuk hal-hal yang salah lagi,” kata Tabrani seperti dikutip De Vrije Pers, 19 November 1949.


Ketika keliling Sumatra, Tabrani menyatakan Kementerian Dalam Negeri akan menangkat 100 orang Cina menjadi birokrat yang akan ditempatkan di berbagai kabupaten. Penempatan pejabat Cina peranakan ini diharapkan akan mempermudah pekerjaan yang berkaitan dengan minoritas (Preanger Bode, 18 Agustus 1950).

Masalah yang mendera orang-orang Cina pada masa revolusi kemerdekaan masih berlanjut pada 1950-an. Jika pada masa revolusi kemerdekaan mereka menjadi korban perburuan orang-orang Republik, di antaranya oleh Gabungan Romusa Ngamuk (Garong), di dekade 1950-an menjadi korban kebijakan pemerintah.

Di masa ini, orang-orang Cina sebagai kelompok minoritas telah menguasai perkreditan hingga di desa-desa. Maka, kebijakan campur tangan tentara di bidang ekonomi dan pemerintahan di masa ini berimbas pada keberadaan orang-orang Cina di desa-desa.

Mereka ditarik ke kota karena mulai 1 Januari 1960 pemerintah melarang nonpribumi melakukan praktik perdagangan di desa. Yang terkena dampak langsung dari keputusan akibat kekacauan ekonomi dan politik di masa demokrasi terpimpin itu sebenarnya pedagang Arab dan India, tetapi secara politis orang Cina terkena lebih parah.

“ pada dasarnya ketetapan ini untuk memukul orang-orang Cina, melemahkan persahabatan Jakarta dengan negara Cina, dan mempersulit urusan PKI,” tulis MC Ricklefs di buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.

Pada akhir 1959, tentara mulai memindahkan orang-orang Cina secara paksa dari desa-desa ke kota-kota. Ada sekitar 119.000 orang Cina yang dipulangkan ke Cina.

“Pemerintah Cina melakukan tekanan diplomatik yang sangat berat terhadap Jakarta, sementara PKI dan Sukarno berusaha membela orang-orang Cina dan setidak-tidaknya dapat mencegah pihak militer untuk melakukan tindakan yang lebih keras,” ujar Ricklefs.

Priyantono Oemar

sumber : https://oohya.republika.co.id/posts/512387/asal-mula-garong-romusa-ngamuk-dan-minoritas-cina
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement
Advertisement