REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Pada Desember 1987, pada masa-masa awal Intifada Pertama, sebuah momen penting dalam konflik Israel-Palestina terjadi.
Organisasi amal yang dikenal sebagai Islamic Collective mengubah namanya menjadi Hamas, menandai awal keterlibatannya secara langsung dalam konflik tersebut.
Pergeseran ini tidak sekadar perubahan nama, tetapi juga menandakan niat Hamas untuk memainkan peran sentral dalam perjuangan penentuan nasib sendiri Palestina.
Pada Juni 1988, hanya beberapa bulan setelah pembentukannya, Hamas mengambil langkah mengejutkan dengan menawarkan proposal perdamaian kepada Israel.
Mahmoud al-Zahar, salah satu pemimpin Hamas, pergi ke Tel Aviv untuk menyampaikan tawaran tersebut secara langsung kepada Menteri Pertahanan Israel Yitzhak Rabin.
Usulan itu sangat sederhana:
Israel harus menyatakan niatnya untuk menarik diri dari Wilayah Pendudukan, membebaskan para tahanan Palestina, dan mengizinkan Palestina untuk menunjuk perwakilannya dalam perundingan.
Selain itu, pendiri Hamas, Syekh Ahmed Yassin, menyatakan kesediaannya untuk terlibat dalam perundingan, asalkan Israel mengakui hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk kembali.
BACA JUGA: Mengapa para Pembenci Membakar Alquran dan Justru yang Terjadi di Luar Dugaan?
Terlepas dari tawaran ini, Israel menolak proposal tersebut. Tuntutan yang diajukan oleh Hamas dianggap tidak dapat dipertahankan oleh pemerintah Israel, yang pada saat itu, sangat mengakar pada kebijakan perluasan pemukiman dan kontrol atas wilayah-wilayah yang diduduki.
Dari sudut pandang Israel, kondisi Hamas tidak memungkinkan, terutama isu-isu seputar hak kembali dan pelepasan tanah.
