Selasa 06 May 2025 18:14 WIB

Sektor Pertanian Unggul dalam Pertumbuhan Ekonomi, Ini Analisis Ekonom

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 mencapai 4,87 persen.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Foto udara rumah burung hantu yang dibangun di area lahan pertanian padi Desa Purwosono, Kecamatan Sumbersuko, Lumajang, Jawa Timur, Rabu (30/4/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya
Foto udara rumah burung hantu yang dibangun di area lahan pertanian padi Desa Purwosono, Kecamatan Sumbersuko, Lumajang, Jawa Timur, Rabu (30/4/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengkritisi pertumbuhan sektor pertanian yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025. Menurutnya, unggulnya sektor pertanian pada periode tersebut tak lain karena tidak tumbuhnya sektor-sektor produktif lainnya, sehingga perlu menjadi evaluasi yang serius bagi pemerintah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 mencapai 4,87 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya di angka 5,02 persen. BPS menyampaikan sektor pertanian menjadi sektor yang paling menonjol dengan angka pertumbuhan double digit, yakni sebesar 10,52 persen dan menyumbang 1,11 persen terhadap total pertumbuhan ekonomi nasional.

Baca Juga

Angka pertumbuhan sektor pertanian pada kuartal I 2025 telah menyalip industri pengolahan, perdagangan, hingga sektor infokom. Masing-masing mencatatkan angka kontribusi 0,93 persen, 0,66 persen, dan 0,53 persen. Selebihnya, 1,64 persen adalah sektor lainnya, sehingga total 4,87 persen.

“Namun, pertanyaan mendasarnya, apakah ini benar cerminan kekuatan struktural baru dari sektor pertanian? Ataukah ini justru sinyal melemahnya fondasi pertumbuhan sektor-sektor lain?” ujar Achmad dalam keterangannya, Selasa (6/5/2025).

Achmad mengatakan, pertumbuhan 10,52 persen pada sektor pertanian memang terlihat spektakuler, namun menurutnya secara metodologis harus dilihat sebagai cerminan siklus musiman dan perbandingan basis yang rendah pada periode sebelumnya.

Ia menyebut, subsektor tanaman pangan, khususnya padi dan jagung mengalami lonjakan produksi lantaran panen raya yang lebih merata secara spasial dan temporal. Ditambah anomaly cuaca yang menguntungkan. Produksi padi diketahui meningkat lebih dari 50 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, sebuah lonjakan yang menurut Achmad mustahil dicapai hanya dalam waktu tiga bulan tanpa didukung oleh faktor alamiah dan momentum panen.

“Pemerintah memang tengah menjalankan berbagai kebijakan penguatan pertanian seperti cetak sawah baru, optimalisasi lahan, penyaluran pupuk bersubsidi secara digital, serta pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan). Namun efektivitas kebijakan ini belum bisa dirasakan penuh di kuartal I 2025,” kata dia.

Achmad menuturkan, efek jangka panjang dari invervensi tersebut akan baru bisa dievaluasi setidaknya dalam satu tahun ke depan. Sehingga, narasi yang menyatakan bahwa pertumbuhan pertanian saat ini adalah hasil langsung dari keberhasilan kebijakan pemerintah perlu ditanggapi secara hati-hati.

“Kenaikan ini lebih menyerupai efek alamiah siklus panen yang diperbesar oleh pelemahan kinerja sektor lain,” ungkapnya.

Swasembada Pangan

Achmad turut menyoroti wacana yang muncul seiring dengan lonjakan kinerja pertanian, yakni kemungkinan Indonesia telah berada di jalur menuju swasembada pangan yang sesungguhnya. Optimisme tersebut dinilai terlalu dini untuk disimpulkan.

Menurutnya, pertumbuhan yang bersifat musiman bukanlah indikator keberlanjutan. Ia menyebut, fundamental pertanian Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan kronis, mulai dari degradasi tanah, perubahan iklim, penyusunan lahan pertanian, alih fungsi lahan yang masif, hingga ketimpangan akses petani terhadap teknologi dan pembiayaan.

“Kementerian Pertanian memang menargetkan swasembada sejumlah komoditas strategis seperti padi, jagung, dan kedelai dalam empat hingga lima tahun ke depan. Namun untuk mencapai ini, dibutuhkan reformasi menyeluruh di sisi hulu hingga hilir, termasuk restrukturisasi sistem distribusi dan logistik pangan nasional yang selama ini menyumbang inefisiensi besar dalam harga dan ketersediaan,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa swasembada bukan sekadar meningkatkan volume produksi, tetapi soal memastikan ketersediaan pangan dalam jangka panjang secara berkelanjutan dan terjangkau bagi seluruh rakyat. Achmad mengatakan, fakta bahwa pertanian masih sangat bergantung pada faktor cuaca dan belum berbasis pada inovasi teknologi menjadikan sektor ini sangat rentan terhadap guncangan jangka pendek.

“Oleh karena itu, pertumbuhan fantastis sektor pertanian pada kuartal I 2025 lebih tepat dibaca sebagai anomali musiman yang belum menyentuh persoalan struktural,” tuturnya.

Lebih lanjut, Achmad mengungkapkan, fenomena dominannya sektor pertanian dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi mengingatkan pada pola yang terjadi saat krisis moneter 1998. Pada saat itu, ketika sektor industri dan keuangan mengalami kehancuran, jutaan buruh dan tenaga kerja urban kembali ke desa dan mengandalkan lahan pertanian keluarga sebagai bentuk survival ekonomi.

“Sektor pertanian kala itu menjadi buffer yang relatif stabil karena sifatnya yang padat karya, berbasis lokal, dan tak tergantung pada modal besar. Jika kita tarik paralel dengan kondisi saat ini, terlihat gejala serupa,” ujar Achmad.

Ia menuturkan, sektor industri pengolahan yang selama ini menjadi motor utama ekonomi nasional tercatat hanya tumbuh 4,55 persen pada kuartal I 2025. Itu sebuah angka yang rendah untuk ukuran sektor dengan produktivitas tinggi. Lalu, sektor perdagangan dan infokom juga mengalami perlambatan. Konsumsi pemerintah bahkan mengalami kontraksi 1,38 persen akibat tidak adanya belanja Pemilu seperti pada 2024.

“Dengan kata lain, panggung ekonomi sedang mengalami pemudaran daya dorong dari sektor-sektor modern dan berorientasi ekspor. Dalam kondisi seperti itu, wajar bila sektor pertanian terlihat bersinar,” kata dia.

“Ini bukan karena pertanian tumbuh lebih kuat dari sebelumnya, melainkan karena sektor lain melemah secara signifikan,” lanjutnya.

Achmad mengatakan, fenomena tersebut menjadi indikasi bahwa ekonomi nasional sedang mengalami tekanan struktural yang cukup serius. Jika tidak ditangani dengan langkah strategis, Indonesia bisa saja mengalami krisis baru yang polanya mirip dengan krisis 1998, meski tidak sepenuhnya serupa.

“Fenomena pertumbuhan tinggi sektor pertanian pada kuartal I 2025 bukanlah bukti kesuksesan total kebijakan pertanian nasional. Justru sebaliknya, ini adalah refleksi dari pelemahan sektor-sektor produktif lainnya. Pemerintah harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam narasi keberhasilan yang semu,” jelasnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement