Senin 30 Jun 2025 16:38 WIB

Rusia Peringatkan Kekacauan Global Jika Ada Penggulingan Rezim di Iran

Rusia sebut upaya perubahan rezim di Iran membahayakan.

Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memberikan suara elektroniknya dalam pemilihan parlemen putaran kedua di Teheran, Iran, 10 Mei 2024. Warga Iran pada 10 Mei memberikan suara untuk kurs
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memberikan suara elektroniknya dalam pemilihan parlemen putaran kedua di Teheran, Iran, 10 Mei 2024. Warga Iran pada 10 Mei memberikan suara untuk kurs

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW— Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pada Ahad (30/6/2025) memperingatkan bahwa diskusi internasional tentang perubahan rezim di negara lain dapat membawa dunia ke dalam "neraka".

Tanggapan ini merespons pernyataan baru-baru ini dari para pejabat Israel tentang pemerintah Iran, Anadolu melaporkan.

Baca Juga

"Tidak ada negara atau kelompok negara yang boleh mendiskusikan pergantian kekuasaan di negara lain. Jika ini terjadi, maka dunia akan masuk neraka," kata Peskov kepada jurnalis Rusia Pavel Zarubin dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh lembaga penyiaran negara Rossiya-1.

Awal bulan ini, Ohad Tal, seorang anggota Knesset dari partai Zionisme Religius yang duduk di Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan, mengatakan bahwa perubahan rezim di Iran bukanlah tujuan resmi perang Israel.

"Jika Anda benar-benar ingin menyingkirkan program nuklir (di Iran), Anda harus menjatuhkan rezim tersebut. Jika tidak, Anda hanya menunda kemampuan mereka untuk kembali mengembangkan program tersebut."

Peskov sebelumnya memperingatkan bahwa setiap upaya untuk membunuh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei akan membuka kotak Pandora.

Ini sekaligus memicu eskalasi regional yang berbahaya. Dia menggambarkan diskusi perubahan rezim mengenai Iran sebagai tidak dapat diterima oleh semua orang.

Sementara itu, ulama tertinggi Syiah Iran mengeluarkan sebuah fatwa keagamaan yang menentang Presiden Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Ahad (29/6/2025), sebuah tindakan yang oleh beberapa ahli disebut sebagai hasutan untuk melakukan terorisme.

Fatwa ulama senior Iran ini muncul beberapa hari setelah Trump mengklaim bahwa ia telah menyelamatkan Khamenei dari "kematian yang buruk dan memalukan", dan mengetahui dengan pasti di mana Khamenei berlindung.

Fatwa dari Grand Ayatollah Naser Makarem Shirazi menyerukan kepada umat Islam di seluruh dunia untuk mengambil sikap, menurut New York Sun.

Fatwa tersebut menyatakan bahwa setiap individu atau pemerintah yang menantang atau membahayakan kepemimpinan dan persatuan komunitas Islam global (umat) akan dianggap sebagai "panglima perang" atau "mohareb".

Ini didefinisikan sebagai seseorang yang mengobarkan perang melawan Tuhan. Di bawah hukum Iran, mereka yang diidentifikasi sebagai mohareb dapat menghadapi hukuman mati, penyaliban, pemotongan anggota tubuh, atau pengasingan.

"Mereka yang mengancam kepemimpinan dan integritas umat Islam dianggap sebagai panglima perang," kata Makarem dalam keputusan tersebut.

"Jelas bahwa mengancam nyawa seseorang yang merupakan pilar dari sistem Islam, Marja'iyyat (otoritas agama), dan kepemimpinan, terutama pemimpin tertinggi, adalah terlarang dan dilarang oleh agama," kata Shirazi.

"Adalah wajib untuk membela mereka dan menghadapi para pelaku ancaman tersebut, dan melanggar kesucian ini adalah salah satu dosa terbesar," tambahnya.

Dia juga menyerukan kepada umat Islam di seluruh dunia untuk bersatu dan menjatuhkan para pemimpin Amerika dan Israel yang telah mengancam kepemimpinan republik Islam.

Fatwa tersebut juga menambahkan bahwa setiap dukungan atau kerja sama oleh umat Islam atau negara-negara Islam kepada musuh-musuh ini akan dianggap "haram" atau terlarang.

"Umat Islam di seluruh dunia harus berdiri teguh melawan musuh-musuh tersebut dan kejahatan terbuka mereka. Jika mereka melakukan tindakan seperti itu, mereka akan menghadapi hukuman yang berat dan ilahi, dan tidak diragukan lagi mereka akan dibalas," demikian bunyi fatwa tersebut.

Dia mengakhiri dengan doa yang meminta perlindungan dari "musuh-musuh" ini dan untuk kembalinya Imam Mahdi, seorang tokoh mesianis dalam Islam Syiah.

Sementara itu, komentator Inggris-Iran, Niyak Ghorbani, mengutuk fatwa tersebut dan menggambarkannya sebagai hasutan yang didukung oleh negara terhadap terorisme global.

Dia memposting di akun X-nya bahwa agresi Republik Islam tidak terbatas pada perbedaan pendapat dalam negeri, tetapi menandakan ambisi internasional yang lebih luas untuk melakukan kekerasan bermotif agama.

"Barat harus menyadari: Republik Islam tidak hanya menargetkan rakyatnya sendiri - mereka sedang mempersiapkan kekerasan global atas nama agama," tulisnya dalam postingan tersebut.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement