REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil membuat prototipe baterai nuklir yang bisa dipakai untuk elektronik. Mereka merupakan Tim Peneliti Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika.
Hasil penelitian yang dilakukan empat dosen dan enam asisten peneliti ini ditinjau mantan menteri BUMN, Dahlan Iskan. Dahlan sendiri memang merupakan yang pertama kali memberikan pendanaan atas penelitian ini.
Itu diungkapkan langsung Ketua Tim Peneliti, Yudi Utomo Imardjoko, saat memaparkan protitipe baterai itu. Ia mengatakan, Dahlan kala itu ingin ada sesuatu yang bisa dibuat dari teknologi nuklir Indonesia.
"Tidak hanya teoretis, ini bukti kami sudah melakukan sesuatu yang ada hasilnya, walaupun masih kecil," kata Yudi, Jumat (22/11) lalu.
Ia menerangkan, dalam dua terakhir proyek penelitian ini mendapatkan pembiayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan. Bahkan, benar-benar telah selesai dilaksanakan.
Yudi mengakui, prototipe ini memang belum sempurna dan masih perlu pengembangan lebih jauh. Tapi, prototipe yang dihasilkan dirasa sudah cukup baik jika dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya.
"Ini kan masih kecil, efisiensinya masih kecil walaupun cukup tinggi jika dibandingkan dengan tempat lain," ujar Yudi.
Menurut Yudi, penelitian terkendala biaya komponen plutonium 238 yang cukup mahal karena harus impor. Untuk prototipe, tim harus datangkan plutonium jauh dari Rusia dengan harga Rp 8.600 dolar per keping.
"Harga per keping hanya 12 dolar, tapi begitu sampai sini harganya itu 8.600 dolar per keping," kata Yudi.
Soal kendala itu, Dahlan Iskan menilai, bisa di atasi jika Indonesia memiliki reaktor torium sendiri. Sebab, plutonium sendiri tidak lain merupakan limbah dari torium.
Selama inim kebutuhan plutonium harus diimpor dari luar negeri dengan harga yang mahal karena Indonesia belum memiliki torium. Walau, kata Dahlan, desain reaktor torium di Indonesia sudah jadi.
"Dibuat oleh bapak-bapak ahli nuklir ini, kebetulan itu saya yang mendanai, desainnya sudah jadi, tinggal bagaimana mewujudkannya," ujar Dahlan.
Dahlan yang mengunjungi Pusat Studi Ilmu Teknik turut mendengarkan penjelasan komponen dan cara kerja baterai. Selain memakai plutonium, baterai dilengkapi sel surya untuk perbesar listrik yang dihasilkan.
Baterai dikonversi secara tidak langsung yang keluarannya kecil, jadi digabung sel surya agar pengeluaran lebih besar. Asisten peneliti, Elly menilai, mereka memang mencari sumber tenaga kecil yang tahan lama.
"Kalau baterai litium setahun dua tahun sudah habis, kalau baterai nuklir bisa sampai 40 tahun," kata Elly.
Dengan penelitian lebih lanjut, baterai ini dapat dikembangkan untuk menghasilkan output yang lebih besar dan memiliki ukuran yang lebih kecil. Sebab, baterai berukuran mikro dapat dimanfaatkan lebih luas.
Dekan Fakultas Teknik, Nizam menambahkan, fakultas mendorong peneliti dapat menghilirkan hasil-hasil riset agar tidak sekadar jadi makalah. Tapi, benar-benar jadi sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Untuk itu, diperlukan dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat. Apalagi, peneliti-peneliti sudah memetakan salah satu yang potensial di Indonesia merupakan pengembangan manfaat torium.
"Dari sisi teknologi kita sudah menguasai jadi tidak perlu bergantung kepada impor, teman-teman juga sudah bisa mewujudkan limbahnya nanti bisa dimanfaatkan menjadi baterai," ujar Nizam.