REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Hukum kontroversial yang mengatur tindak kriminal siber di FIlipina menuai banyak protes dari warga.
Hukum baru yang disebut Undang-Undang Pencegahan Kriminal Siber (Cybercrime Prevention Act) 2012 itu ditandatangani Presiden Filipina Benigno Aquino III pada 12 September.
UU tersebut bermaksud untuk mencegah seks siber, pornografi, pencurian identitas, dan spamming, menurut salah satu ofisial. Berdasarkan hukum ini pula, pelaku kriminal siber akan dikenakan hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Menurut pernyataan juru bicara kepresidenan Edwin Lacierda pada Rabu, UU ini ditetapkan oleh kongres yang prihatin atas tindak kriminal dan perilaku kekerasan yang dilakukan lewat dunia maya.
"Berbagai pertanyaan telah kami ajukan mengenai konstitusionalitas ketentuan dalam UU ini. Kami sadar dan menghormati usaha-usaha tersebut, yang bukan hanya agar isu ini dibahas di pengadilan, tetapi juga untuk mengajukan perubahan hukum sesuai dengan proses konstitusi," ungkapnya.
Namun, UU tersebut menuai banyak protes dari masyarakat. Berdasarkan laporan media massa setempat, paling tidak ada delapan petisi dari berbagai kelompok masyarakat yang menentang UU tersebut. Mereka juga telah mengajukan keberatan ke pengadilan tertinggi di Filipina.
Beberapa aktivis anonim bahkan membajak situs-situs pemerintahan, para jurnalis mengadakan unjuk rasa, dan banyak pengguna Facebook yang mengganti gambar diri mereka dengan gambar kosong, menurut salah satu jurnalis BBC di Manila Kate McGeown.
Para pemrotes mengungkapkan, legislasi tersebut bisa saja digunakan untuk menahan kritik terhadap pemerintah dan kebebasan berpendapat. DI bawah UU baru tersebut, seseorang yang berkomentar di dunia maya, termasuk di Facebook dan Twitter atau blog bisa didenda, bahkan dipenjara.
Ofisial pemerintah juga akan memiliki kekuatan untuk mencari dan mengambil data dari akun maya masyarakat.
"Hukum kriminal siber tersebut harus dicabut atau diganti," ungkap Brad Adams, Direktur Asia sebuah Lembaga Pengawasan Hak Asasi Manusia.
"UU tersebut mencederai kebebasan berekspresi rakyat FIlipina dan sepenuhnya tidak sesuai dengan kewajiban pemerintah Filipina di bawah hukum internasional," pungkas Brad sebagaimana dikutip AFP.