Selasa 05 Feb 2013 04:37 WIB

'Open Access', Ideologi Melawan Kapitalisme Ilmu (3-habis)

Rep: Siwi Tri Puji/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Aaron Swartz dan ungkapan dalam Manifesto yang ditulisnya pada 2008
Foto: HENRY MAKOW
Aaron Swartz dan ungkapan dalam Manifesto yang ditulisnya pada 2008

REPUBLIKA.CO.ID, Tanah kelahiran Aaron Swartz sekaligus negara yang membuatnya frustrasi, Amerika Serikat, terkenal paling matre untuk urusan berbagi akses pada hasil penelitian. Toh negara ini juga mulai membuka diri.

Sebenarnya, rintisannya mulai dilakukan sekitar satu dekade lalu, ketika sekelompok ilmuwan mulai mempublikasikan penelitian peer-review secara gratis melalui internet, yang dilakukan setelah Budapest Open Access Initiative pada tahun 2002.

Gerakan ini terus mendapatkan dukungan luas, kata Heather Joseph, direktur eksekutif Scholarly Publishing and Academic Resources Coalition, yang bekerja untuk memperluas akses masyarakat terhadap hasil penelitian ilmiah.

Puncaknya, pada tahun 2005, National Institutes of Health (NIH) mengadopsi kebijakan akses terbuka. Hampir 2,5 juta artikel yang selama ini dipagari dalam database NIH dibuka untuk umum dan gratis.

Lebih dari  700 ribu orang mengakses PubMedCentral, portal yang menyediakan informasi hasil penelitian, setiap hari. Namun NIH hingga kini masih merupakan satu-satunya lembaga federal yang membuka akses itu.

Para aktivis terus mendorong undang-undang yang akan membuat lembaga ilmu pengetahuan federal lainnya mengikuti apa yang dilakukan NIH. Tapi di sisi berlawanan, penerbit komersial dan nirlaba, masyarakat profesional, dan akademisi banyak berupaya menyodorkan RUU mereka sendiri untuk mengembalikan lagii akses terbuka di NIH seperti semula.

Mereka berpendapat bahwa membuat semua penelitian ilmiah tersedia secara bebas akan merusak sistem yang berabad-abad dijaga dan mengantarkan perusahaan publikasi review dan jurnal akademis ke jurang kebangkrutan.

Salah satu pkendukung kelompok ini, Rob Weir, pengajar sejarah di Smith College di Massachusetts, yang juga associate editor pada sebuah jurnal kecil, mengatakan Swartz mengabaikan bahaya tersembunyi di balik upaya membuka akses terbuka terhadap hasil penelitian. 

"Saya turut berduka Swartz meninggal," Weir menulis dalam sebuah esai. "Namun saya menegaskan, bagaimanapun, meski ia layak mendapat label pahlawan atas apa yang dia lakukan,  di mata saya dia tetap peretas. Tidak peduli seberapa berprinsip seorang hacker, mereka adalah tetap pencuri."

Namun pendukung Swartz meradang pemuda 26 tahun ini dicap sebagai  pencuri. Aktivis maya mengatakan Swartz mengambil risiko pribadi untuk membuka arsip besar dunia ilmu pengetahuan, lalu membuat akses data dalam jumlah besar yang selama ini dibatasi -- dan karenanya mereka melabeli Swartz sebagai martir untuk dunia ilmu pengetahuan yang lebih baik.

Seperti yang pernah ditulisnya, "Kita perlu mengambil informasi, di mana pun itu disimpan, membuat salinan, dan membaginya dengan dunia." 

Sementara diskursus perlu atau tidaknya dibuka akses seluas-luasnya pada penelitian ilmiah masih panjang,  Swartz memilih memperpendeknya: menjemput ajalnya sendiri.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement