Kamis 23 Jun 2016 14:31 WIB

Tarif Interkoneksi Perlu Perhatian Khusus

Jaringan Telekomunikasi
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Jaringan Telekomunikasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --  Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu memberi perhatian khusus terkait tarif interkoneksi. "KPPU harus buat fatwa karena betul konsumen tidak punya pilihan," ujarnya, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (23/6).

Ia menjelaskan, ada perbandingan harga yang menggambarkan betapa mahalnya tarif telepon Telkomsel. Misalnya di Papua, pelanggan dikenai biaya Rp 1000/60 detik ketika menelpon sesama pelanggan Telkomsel.

Kondisi ini berbeda jauh dengan Indosat yang hanya mengganjar pelanggan dengan tarif Rp 1/detik untuk menelpon sesama pengguna Indosat. Tak hanya itu, di Pulau Jawa sendiri, perbandingan harga antar dua operator telekomunikasi ini terlampau jauh.

Indosat mematok harga Rp 1000/menit menelepon ke semua operator, sementara Telkomsel mengenakan Rp 508 – 1.435/30 detik dengan layanan serupa.

Solusinya, kata dia, regulator telekomunikasi diminta menyikapi serius mengenai hal ini. Karena, tujuan akhir dari penyediaan jasa adalah keuntungan konsumen. Dengan persaingan sehat dan pengawasan ketat pemerintah, tujuan itu bisa dicapai.

"Dari dulu saya sudah ingatkan kemungkinan adanya dominasi operator, tapi pemerintah tak kunjung ada action konkrit," pungkas Agus.

Sejumlah pengamat dan penggiat telekomunikasi juga menilai penurunan tarif interkoneksi secara signifikan akan mencegah potensi monopoli terutama di luar Pulau Jawa. Soalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif berpotensi menjadi tak wajar.

Penilaian tersebut disampaikan eru Sutadi, pengamat telekomunikasi, saat ditanyai terkait rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi. "Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," ujarnya.

Menurut dia, inilah tugas pemerintah dalam menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di dalam negeri. "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing," paparnya.

Tarif interkoneksi merupakan komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Formula perhitungan tarif interkoneksi ditetapkan oleh pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.

Heru menambahkan pemerintah merancang regulasi itu pada 2005 dan diundang-undangkan pada 2007, sehingga mestinya direvisi kembali saat ini. Utamanya, soal penurunan tarif secara bertahap yang dinilai melestarikan praktek monopoli.

Dia menggarisbawahi sudah seharusnya regulator meninjau ulang aturan itu mengingat saat ini tarif telepon sesama operator jauh lebih murah dibanding tarif interkoneksi atau antar operator. Keadaan inilah yang memberatkan pelanggan dan secara tak langsung mengarah pada praktek monopoli. "Kompetisi tidak terjadi, nah penurunan biaya interkoneksi ini diharapkan memicu adanya kompetisi," ujar Heru.

Masyarakat cenderung memilih operator yang murah biaya telepon sesama operator. Mungkin menurut sebagian kalangan hal ini wajar saja, namun Heru menilai, adanya kecurangan berusaha. Pasalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator itu yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif menjadi tak wajar. Kasus seperti itu banyak ditemui di Indonesia bagian timur.

Sementara membangun infrastruktur penunjang luas jaringan tak bisa dikatakan murah. Sehingga memang tak semua operator bisa menjangkau daerah terluar Indonesia yang sedang berkembang. “Nah, tarif interkoneksi atau off-net yang murah antar provider bisa dijadikan solusi mengatasi kebuntuan itu,” ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement