Senin 15 May 2017 09:40 WIB

Serangan Ransomware Jadi Pengingat Pentingnya 'Cybersecurity'

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Winda Destiana Putri
Ransomware
Ransomware

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Serangan Ransomware lewat virus Wannacry yang terjadi pada Jumat (12/5) silam disebut sebagai serangan siber terbesar di dunia. Tidak tanggung-tanggung, serangan tersebut terjadi setidaknya di 150 negara, termasuk di Inggris, Rusia, dan Cina.

Bahkan, serangan itu juga menimpa data-data di komputer yang terdapat di lembaga layanan publik, seperti di Rumah Sakit, lembaga pemerintahan, dan perusahaan-perusahaan berskala besar. Secara umum, serangan virus ini mengunci file-file yang ada di komputer. Para pengguna harus membayar sejumlah uang tebusan agar file-file itu bisa kembali dibuka.

Ancaman serangan yang lebih besar disebut bakal terjadi pada Senin (15/5), saat orang-orang kembali bekerja. Menurut Kepala Agensi Penegakan Hukum Uni Eropa (Europol), Rob Wainwright, untuk saat ini beberapa negara Eropa masih dalam tahap pemulihan akibat serangan virus tersebut.

''Kami akan segera mendapatkan description tool untuk serangan virus ini. Tapi untuk saat ini, ini masih menjadi ancaman dan kami masih dalam status pemulihan dari bencana,'' ujar Rob seperti dikutip CNN, Senin (18/5).

Selain itu, hingga saat ini, Europol masih menganalisa jenis virus dan tengah mengembangkan antivirusnya. Europol pun belum bisa mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggungjawab atas serangan Ransomware tersebut. Rob menambahkan, serangan siber itu telah menimbulkan 200 ribu korban, mulai dari individu dan lembaga, dan tersebar di 150 negara.

Rumah sakit, lembaga pemerintahan, dan perusahaan besar tidak luput dari serangan tersebut. Menurut ahli Informasi Teknologi, serangan tersebut sebenarnya menyasar Rusia, Ukraina, dan Taiwan. Namun, pada kenyataannya, serangan tersebut meluas hingga ke Inggris, sejumlah perguruan tinggi di Cina, dan perusahaan multinasional seperti Fedex.

Pusat Keamanan Siber Inggris menyebutkan, saat ini belum ada temua baru komputer yang telah terinfeksi virus tersebut. Namun, Pusat Keamanan Siber Inggris mengungkapkan, kemungkinan bertambahnya korban akibat serangan tersebut masih bisa terjadi. Pasalnya, virus itu menginfeksi melalui jaringan, baik internet ataupun jaringan lokal.

Menteri Keuangan Amerika Serikat, Steven Mnuchin, menyatakan, serangan siber yang terjadi pada Jumat silam menjadi pengingat akan pentingnya keamanan siber. Terutama di bidang finansial. ''Karena itu, prioritas terbesar kami saat ini adalah untuk melindungi infrastruktur finansial kami,'' tuturnya.

Rob pun menyebutkan, sektor ekonomi memang paling rentan terkena serangan siber tersebut. Namun, pada serangan Ransomware, hanya sedikit bank atau lembaga ekonomi yang menjadi korban. Hal ini dapat menjadi pelajaran buat organisasi atau lembaga di sektor lain untuk meningkatkan kepedulian terhadap keamanan siber.

''Sangat sedikit bank yang menjadi korban dalam serangan virus global, akhir pekan lalu. Itu terjadi karena mereka telah belajar dari pengalaman sebelumnya, menjadi target nomor satu dalam cybercrime,'' ujar Rob.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement