REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA CEO Telegram Pavel Durov menyatakan tak bisa membukan kunci enkripsi di pesan instan asal Rusia itu. Kendati, hal itu untuk kepentingan memantau propaganda, radikalisme, toleransi yang beredar di Telegram.
'Kita tidak bisa membuka kunci enkripsi. Dasar Telegram 100 persen privasi," kata dia di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta, Selasa (1/8).
Menurutnya, saluran publik bisa diakses oleh siapapun, sehingga tidak perlu membuka kunci enkripsi. Namun, ia menyatakan tidak bisa membuka pesan privasi antara satu pengguna dengan pengguna lainnya. Bos pesan instan asal Rusia itu menyatakan kesiapannya untuk mendiskusikan berbagai permintaan dari pemerintah Indonesia. Ia mengatakan, setidaknya ada 20 ribu pengguna baru dari Indonesia setiap hari. Pun setiap hari, Telegram mencatat ada 600 ribu pengguna baru dari seluruh dunia.
"Tidak ada pengecualian khusus untuk negara manapun, termasuk Indonesia," jelasnya.
Sementara itu, Dirjen Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan menjelaskan keamanan pembicaraan privasi dilindungi oleh UU Telekomunikasi.
"Negara harus melindungi pembicaraan privasi apapun. Kita cari cara lain," jelasnya.
Ia mengatakan, pemerintah dapat masuk pada saluran publik Telegram tanpa pembukaan kunci. Saat ini pemerintah segera menyiapkan langkah untuk membuka saluran publik laman Telegam.
"Kita sudah siapkan langkah normalisasi, mungkin minggu ini. Jadi sudah bisa dibuka," jelasnya.