REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem peringatan dini (EWS) bencana tanah longsor sederhana dan mudah dioperasikan Sipendil. Sispendil bekerja berdasarkan ambang batas hujan.
Sipendil merupakan sistem peringatan dini yang dikembangkan dosen Departemen Geografi Lingkungan Nugroho Christanto dan Anggri Setiawan. Sispendil dikembangkan bersama Sulkhan Nurrohman yang merupakan alumnus Fakultas Geografi UGM.
Alat dikembangkan menggunakan komponen sederhana yang mudah diperoleh di toko elektronik dan bahan bangunan. Tersusun atas dua komponen utama, yakni pipa penampung air hujan dan box controller.
Dalam box controller terdapat sejumlah komponen seperti kran pelimpah, lampu LED, threshold controller dan power. Sipendil telah dipasang di lebih dari 40 titik di daerah Temanggung, Wonosobo dan Banjarnegara yang masuk ke dalam wilayah rawan longsor.
"Ide pembuatan alat ini pada 2013 lalu atas permintaan masyarakat Sitieng, Kejajar, Wonosobo yang merasa khawatir akan ancaman tanah longsor," kata Ketua Tim Peneliti, Nugroho Christanto, akhir pekan lalu.
Dalam penggunaan sistem peringatan dini ini, pengguna selalu mengosongkan tabung setiap harinya di pagi hari dengan membuka kran pelimpah dan mencatat volume air tertampung. Catatan ini akan bermanfaat sebagai penentu nilai ambang batas hujan untuk longsor.
Pengaturan nilai ambang batas dilakukan melalui threshold controller. Sipendil dapat diset pada ambang batas 55, 60, 65, 70, 75 dan 80 mm. Cara kerja sistem peringatan dini longsor ini cukup sederhana dan mudah dipahami.
Peringatan dini tanah longsor bekerja berdasarkan ambang batas hujan. Bila curah hujan yang tertampung pada tabung penampungan melewati ambang batas, maka alarm atau sirine berbunyi memberikan peringatan pada warga setempat.
"Sistem peringatan dini longsor ini juga dilengkapi dengan lampu LED yang akan menyala saat curah hujan melebihi ambang batas sehingga masyarakat dengan gangguan pendengaran tetap bisa mengetahui jika bahwa alarm berbunyi," ujar Nugroho.
Dalam membangun sistem peringatan dini tanah longsor, diperlukan dukungan data historis kejadian longsor dan data curah hujan yang pernah terjadi. Dari sana diperoleh korelasi antara curah hujan dan longsor sebagai dasar penentu ambang batas kemampuan tanah untuk merespon curah hujan maksimal.
Alat ukur curah hujan, dikatakan Nugroho dapat dikembangan dengan alat sederhana dan mudah diperoleh di lingkungan sekitar. Misalnya, dibuat dengan menggunakan botol air mineral, pipa pralon pvc, corong minyak plastik dan lainnya.
Sipendil saat ini telah diproduksi secara massal dan dipasarkan dengan harga Rp 1,5 juta per unit. Selain menerima pesanan pembuatan sistem peringatan deteksi dini longsor, Nugroho dan tim membuka layanan bagi masyarakat yang menginginkan bimbingan dalam pengembangan alat ini.
"Harapannya, masyarakat dapat mengembangkan sendiri sistem peringatan dini ini," kata Nugroho.