REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan orang meninggal ketika tsunami melanda wilayah pesisir Selat Sunda, Indonesia, pada Sabtu (22/12) malam. Tidak ada tanda-tanda bencana itu akan datang.
Meskipun sudah ada pengalaman tsunami yang disebabkan oleh gunung berapi dan gempa bumi di Indonesia beberpa waktu lalu. Tetapi, Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini yang efektif selama bertahun-tahun.
Surat kabar Inggris, The Guardian, dalam laman onlinenya menulis bencana tsunami bukan yang pertama kalinya terjadi di Indonesia. Pada bulan September, lebih dari 2.000 orang tewas setelah tsunami dan gempa bumi melanda Sulawesi barat, dan banyak warga yang tidak menyadarinya.
Sementara itu, selama Juli dan Agustus 2018, serangkaian gempa bumi melanda wilayah Lombok utara. Rangkaian gempa bumi ini memicu tanah longsor dan bangunan runtuh yang menewaskan lebih dari 400 orang.
Dalam peristiwa tsunami di Selat Sunda, Gunung Anak Krakatau diperkirakan telah meletus di bawah air yang mungkin telah menyebabkan tanah longsor di bawah laut, yang memicu gelombang.
Guru Besar Universitas Melbourne, David Kennedy, mengatakan pemasangan alat deteksi dini tsunami dapat dilakukan dengan kapal yang relatif kecil dengan menggunakan sonar multi-balok yang pada dasarnya merupakan versi yang lebih kuat dari kapal 'pencari ikan'.
Namun, diakui Kennedy, dalam kasus tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi, bumi yang bergetar dapat bertindak sebagai peringatan, tetapi jauh lebih sulit untuk mengantisipasi tsunami dari letusan gunung berapi.
"Biasanya ada penurunan besar volume air di bawah tingkat air surut. Jadi jika Anda berada di pantai, Anda punya waktu beberapa menit untuk mencapai dataran tinggi," katanya, dilansir lama The Guardian, Senin (24/12).
Kennedy mengatakan jika ada jaringan pelampung di sekitar Gunung Anak Krakatau, peringatan satu sampai dua menit dari gelombang yang tertunda adalah yang paling bisa diharapkan oleh siapa pun.
Pada tahun 1883, letusan Gunung Krakatau menyebabkan gelombang tsunami yang mencapai 36,6 meter dan melenyapkan sekitar 36 ribu orang. Seluruh pulau Krakatau diselimuti uap gas vulkanik, abu dan bebatuan dimuntahkan hingga sejaug 80 km.
Letusan Gunung Krakatau diklaim sebagai salah satu suara paling keras yang didengar manusia dalam sejarah modern. "Ada beberapa laporan mengatakan mereka mendengarnya hingga ke selatan Perth," ujar Kennedy.
Ia mengatakan awan abu dari Gunung Krakatau mendinginkan suhu global lebih dari satu derajat selama bertahun-tahun. Krakatau diam sampai akhir 1927, ketika letusan baru dimulai di dasar laut.
Tahun berikutnya, sebuah kerucut yang menjulang tinggi menerobos samudera. Dua tahun kemudian menjadi pulau yang disebut Anak Krakatau.
Kennedy mengatakan, letusan kecil selama bertahun-tahun perlahan membangun kembali Anak Krakatau. "Ada lebih banyak magma dan lava muncul di bawahnya," ucapnya.
Menurut Badan Vulkanisme Global Smithsonian, sebagian besar sistem deteksi tsunami menampilkan alat perekam tekanan yang dipasang di dasar laut dan pelampung di permukaan. Ketika tsunami melewati perekam, instrumen mendeteksi dan mencatat perubahan tekanan air.
Data tersebut kemudian ditransmisikan ke pelampung permukaan, yang menyampaikan pesan ke sistem deteksi tsunami yang lebih luas.
Namun dalam kebanyakan kasus, menurut Badan Nasional Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA), tanda pertama dari potensi tsunami adalah gempa bumi. Menurut NOAA, jauh lebih sulit untuk memperkirakan tsunami non-seismik, seperti yang disebabkan oleh tanah longsor.
"Ini dapat tiba-tiba dengan sedikit atau tanpa peringatan," kata NOAA seperti dilansir CNN.