Kamis 27 Dec 2018 05:19 WIB

Emisi Karbon yang Semakin 'Melimpah' di Alam

Penelitian menemukan ada 40,9 miliar ton karbon dioksida pada tahun ini.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Emisi karbon
Foto: concurringopinions.com
Emisi karbon

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang perubahan iklim berlangsung di Polandia awal bulan ini. Sekitar 190 negara bertemu di Polandia untuk menyusun rincian Kesepakatan Paris 2015 yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu hingga di bawah 2 derajat Celsius abad ini.

Kesepakatan Paris menetapkan dua gol. Tujuan jangka panjangnya adalah akan membatasi pemanasan global hingga tidak lebih dari 1,8 derajat dari tingkat yang ada. Tujuan yang lebih ambisius membatasi pemanasan hingga 0,9 derajat dari sekarang.

Konferensi ini mengingatkan kembali bahwa bumi saat ini berada dalam kondisi gawat iklim. Iklim menjadi tidak menentu akibat pemasana global.

Penelitian terbaru menunjukkan sepanjang 2018, emisi karbon dioksida di seluruh dunia meningkat sekitar 2,7 persen. Studi yang dirilis oleh Global Carbon Project menemukan ada 40,9 miliar ton karbon dioksida pada tahun ini. Jumlah ini naik dari 39,8 miliar pada tahun lalu dengan margin error sekitar satu persen.

Penelitian yang dilakukan oleh proyek ini merupakan kolaborasi ilmiah internasional dari akademisi, pemerintah dan industri yang melacak emisi gas rumah kaca. Empat negara pencemar terbesar yakni, Cina, Amerika Serikat, India, dan Uni Eropa.

Dalam temuan lain, laporan yang diterbitkan pada Rabu (5/12) menunjukkan bahwa lapisan es Greenland meleleh pada tingkat yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Selain itu, berlanjutnya pemanasan global akan mempercepat pencairan dan berkontribusi terhadap naiknya permukaan laut.

Pada makalah yang diterbitkan Jurnal Nature itu, para ilmuwan dari Amerika Serikat, Belgia, dan Belanda menganalisis lapisan-lapisan meleleh dalam inti es di Greenland Barat untuk mengembangkan catatan yang mencakup 350 tahun.

Pelelehan lembaran es mulai meningkat segera setelah pertengahan 1800-an. Permukaan pelelehan yang paling luas adalah pada tahun 2012 daripada waktu selama 350 tahun dan periode 2004-2013 memiliki pencairan yang lebih berkelanjutan dan intens daripada periode 10 tahun lainnya yang tercatat.

Para ilmuwan berpendapat, meningkatnya permukaan laut akan mengancam kota-kota, pulau-pulau dan industri-industri yang rendah di seluruh dunia. Namun, prakiraan untuk seberapa tinggi dan seberapa cepat kenaikan akan sangat bervariasi, sebagian karena para ilmuwan tidak memiliki kejelasan tentang seberapa cepat pemanasan lautan mencairkan lapisan es kutub.

Sementara itu, NASA mengatakan, mencairnya es di Greenland, tempat es terbesar kedua setelah Antartika, diperkirakan menambahkan 0,8 milimeter air ke tingkat samudera global setiap tahun, lebih banyak dari wilayah lain.

Sebuah laporan PBB pada Oktober mengatakan bahwa ketidakstabilan lapisan es laut di Antartika dan / atau kehilangan lapisan es Greenland yang tidak dapat diubah dapat mengakibatkan kenaikan multi-meter di permukaan laut selama ratusan hingga ribuan tahun.

Partisipasi Global

Bank Dunia menyatakan akan menggelontorkan 200 miliar dolar AS dalam investasi bagi aksi perubahan iklim untuk periode 2021-2025. Hal tersebut diucapkan Direktur Senior Bank Dunia untuk Perubahan Iklim John Roomedalam pertemuan puncak iklim PBB sekitar 200 negara di Polandia, pada Senin (3/12).

John Roome mengatakan hal itu dilakukan demi target yang terus meningkat secara signifikan dalam mengatasi perubahan iklim. Selain itu juga mengirim sinyal penting kepada komunitas global yang lebih luas untuk melakukan hal yang sama.

“Jika kita tidak mengurangi emisi dan membangun dari sekarang, kita akan memiliki 100 juta lebih orang yang hidup dalam kemiskinan pada tahun 2030,” kata John Roome seperti dilansir dari AFP, Senin (3/12).

Dalam sebuah pernyataan, Bank Dunia mengatakan rincian 200 miliar dolar AS akan terdiri dari sekitar 100 miliar dolar AS dalam bentuk pendanaan langsung dari Bank Dunia. Sementara sekitar sepertiga dari dana yang tersisa akan berasal dari dua lembaga Kelompok Bank Dunia dengan modal pribadi, sisanya dimobilisasi oleh Kelompok Bank Dunia.

Upaya Indonesia

Pada 2016, Indonesia menyerahkan rencana aksi iklim nasional pertamanya, atau dikenal dengan istilah kontribusi nasional yang ditentukan (Nationally Determined Contribution/ NDC) kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Di dalamnya, pemerintah berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaa (GRK) sebesar 29 persen terhadap skenario baseline bisnis seperti biasa dan 41 persen dengan bantuan internasional.

Pencapaian ini ditargetkan terjadi pada 2030 dengan kehutanan dan energi sebagai sektor sasaran utama. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya tiap sektor memiliki upayanya sendiri. Untuk sektor kehutanan, target itu akan tercapai melalui pengurangan deforestasi dari 0,9 juta ha per tahun pada tahun 2010 menjadi 0,35 juta ha per tahun pada tahun 2030.

Siti menjelaskan, pihaknya juga menargetkan memulihkan 2 juta hektar lahan gambut dan merehabilitasi 2 juta hektar lahan terdegradasi pada tahun 2030. "Peningkatan pengelolaan hutan produksi, baik hutan alam dan hutan tanaman, juga merupakan prioritas NDC kami," tuturnya dalam diskusi di perhelatan COP 24 UNFCCC di Katowice, Polandia, Selasa (11/12).

Sementara itu, di sektor energi, akan tercapai melalui peningkatan efisiensi dalam konsumsi energi final dan penerapan clean coal technology di pembangkit listrik, yakni dari 0 persen pada tahun 2010 menjadi 75 persen pada tahun 2030. Selain itu, meningkatkan penggunaan energi terbarukan dalam produksi listrik menjadi 23 persen bauran energi pada tahun 2025.

Upaya ketiga, meningkatkan penggunaan biofuel di sektor transportasi (wajib B30) hingga 90 persen. Terakhir, jalur distribusi gas tambahan dan stasiun bahan bakar gas alam terkompresi (SPBG) hingga 100 persen.

Siti menjelaskan, adaptasi adalah bagian penting dari NDC Indonesia dengan tiga wilayah target ketahanan iklim. Yakni, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan ketahanan ekosistem dan lanskap. "Tiga wilayah akan dicapai dengan upaya berbeda," ujarnya.

Ketahanan ekonomi akan dicapai melalui pertanian dan perkebunan berkelanjutan, pengelolaan dan konservasi DAS terpadu, pemanfaatan lahan terdegradasi untuk energi terbarukan, dan pola konsumsi energi yang lebih baik. Ketahanan sosial dan penghidupan akan dicapai melalui di antaranya peningkatan kapasitas adaptasi dengan mengembangkan sistem peringatan dini, kampanye kesadaran publik berbasis luas, dan program kesehatan masyarakat.

Pada 2050, Indonesia menargetkan pencapaian keseimbangan antara pengurangan emisi, pertumbuhan ekonomi, ketahanan iklim, dan pembangunan yang adil. Reformasi kebijakan termasuk reformasi struktural pro-pertumbuhan) dan penyelarasan kebijakan (termasuk lingkungan investasi) diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut.

"Kedua perubahan kebijakan mendasar ini perlu diselaraskan dengan kebijakan yang ditargetkan perubahan iklim," katanya.

Di sektor kehutanan, Indonesia bermaksud untuk mencapai emisi bersih-nol pada tahun 2050. Di sektor energi, Siti menjelaskan, Indonesia akan mempercepat transisi ke 100 persen energi terbarukan, melalui operasionalisasi kebijakan dan langkah-langkah pengaturan.

Pendanaan

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Ruandha Agung Sugardiman mengakui, dibutuhkan pendanaan besar untuk mencapai target NDC dan hal tersebut sulit dipenuhi oleh pendanaan publik. Untuk mengantisipasi ini, dibutuhkan skema yang memungkinkan para pemangku kepentingan non-pihak berkontribusi terhadap inisiatif NDC.

Menurut Ruandha, skema yang sedang direncanakan pemerintah itu harus mampu memicu pengembangan proyek dan program hijau yang layak. "Selain itu, mampu membangun institusi lebih kuat untuk menghubungkan proyek dan program dengan investor," katanya ketika dihubungi Republika, Senin (24/12).

Salah satu upaya yang kini sedang dilakukan pemerintah adalah menjalin kemitraan dengan The Global Green Growth Institute (GGGI). Bersama GGGI, Kementerian LHK ingin menarik para pemangku kepentingan internasional dalam menyediakan skema keuangan yang dapat diimplementasikan untuk mencapai target NDC. Di antaranya, pengembang proyek, investor dan pemodal.

Ruandha mencatat, salah satu tantangan utama dalam implementasi NDC adalah menghubungkan investor potensial dengan proyek dan program hijau yang layak. Selain itu, menjembatani donor dengan investor komersial untuk berinvestasi bersama. Kebijakan dan instrumen keuangan yang tidak berisiko sangat dibutuhkan untuk memastikan keuangan mengalir ke sejumlah proyek dan program secara layak.

Target ini turut dibantu melalui peningkatan jumlah anggaran pembiayaan perubahan iklim yang ditetapkan pada APBN selama tiga tahun terakhir. Dikutip dari website resmi Kemenkeu, pada 2016, anggarannya sebesar Rp 72,3 triliun yang meningkat menjadi Rp 81,7 triliun pada 2017. Pada kedua tahun ini, anggaran yang dialokasikan hanya untuk kebutuhan mitigasi.

Sedangkan, pada tahun 2018, alokasi mitigasi sebesar Rp 72,2 triliun dan ditambah alokasi adaptasi sebesar Rp 49,2 triliun. Sehingga total alokasi pada 2018 mencapai Rp 121,4 triliun dari total belanja negara sebesar Rp 2,220 triliun.

Selain penandaan anggaran, pemerintah juga berupaya menghimpun pendanaan internasional, seperti kepada Green Climate Fund (GCF). BKF sebagai National Designated Authority (NDA) telah berhasil membawa dua proyek yang mendapat persetujuan para pimpinan GCF. Kedua proyek tersebut adalah Indonesia Geothermal Resource Risk Mitigation Project oleh World Bank dan Program Climate investor One (CIO).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement