REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penggunaan bakteri dari Cina sebagai pembersih air sungai Ciliwung dinilai tidak akan optimal jika tidak dibarengi oleh proses pembersihan lain. Selain itu, bakteri yang berasal dari daerah subtropis tidak akan bekerja optimal di daerah tropis.
"Setiap bakteri memiliki metabolisme berbeda yang didukung oleh lingkungan tempat hidupnya," ujar Dr Yopi, Kepala Bioproses, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Selasa (13/11).
Ia mengatakan, dari sisi seorang peneliti, mikroba yang berhasil mengolah limbah di suatu negara belum tentu berhasil di negara lainnya. Untuk kasus pembersihan Sungai Ciliwung, ia menilai, tetap harus dilakukan pembersihan secara bertahap. Pembersihan tersebut meliputi pembersihan secara fisik, kemudian kimiawi, baru secara biologis. "Jika hanya menggunakan bakteri saja tidak akan bersih langsung dan optimal," ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam proses pembersihan sungai diawali dengan pengangkatan limbah-limbah berat, seperti kayu, sampah plastik, dan lainnya yang sering ditemukan di sungai. Setelah itu, dilakukan proses kimiawi untuk menghilangkan zat-zat kimia yang bercampur dengan air sungai.
"Setelah itu, baru dilakukan proses biologis seperti menggunakan bakteri untuk menjernihkan air dan menghilangkan sisa-sisa cemaran yang tidak terangkat oleh dua proses diawal," ujarnya.
Yopi mengatakan, Indonesia sendiri memiliki lebih banyak bakteri yang dapat membersihkan cemaran limbah. "Hasil penelitian sudah banyak, namun belum ada industri yang mau memproduksinya dalam skala besar seperti yang sudah dilakukan di Cina," ungkapnya.
Penggunaan bakteri untuk membersihkan air sungai ini merupakan salah satu dari implementasi Bioteknologi. Pada umumnya, bioteknologi ini dilakukan terakhir sebagai finishing dan penyempurnaan.