Kamis 04 Feb 2016 08:35 WIB

Empat Batik Teranyar untuk Gaya Hidup Masa Kini

Rep: Santi Sopia/ Red: Winda Destiana Putri
Desainer Edward Hutabarat
Foto: Antara
Desainer Edward Hutabarat

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Batik masih dipersepsi masyarakat sebagai kain yang identik dengan cita rasa tradisional, desainer senior Tanah Air, Edward Hutabarat justru mengangkat batik siap pakai “PART ONE”, tepatnya pada 2006 silam.

Beberapa waktu lalu, perancang yang akrab disapa Edo itu kembali mempersembahkan “Batik Journey”, pagelaran busana sekaligus pameran yang menjadi panggung perjalanan berkarier sang maestro budaya selama 35 tahun.

Melalui Batik Journey, desainer yang selalu menjadi pionir dalam memberikan perspektif modern terhadap kebudayaan Indonesia dalam setiap karyanya itu menyuguhkan kreativitas bercita rasa budaya yang esensial dan tetap relevan dengan gaya hidup saat ini. Pria kelahiran Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara itu kembali memberikan definisi yang semakin substansial tentang Batik lewat empat koleksi.

Pertama, Edo masih mempertahankan “motif bergaris” atau stripe lining yang menjadi identitas PART ONE. Bila dulu dibuat dari bahan American cotton, lalu ditransformasi menggunakan lurik, kini Edo melahirkan kembali motif bergaris dengan teknik Batik. Motif bergaris hadir bukan hanya sebagai aksentuasi, tetapi menjadi “pemain utama” berupa lembaran kain utuh yang direkreasi ke dalam berbagai potongan gaun. Koleksi wanita yang bernuansa leisure ini juga banyak menggunakan bahan sutra organza yang lebih flowing.

Ada koleksi The Sawunggaling, yang mencerminkan Batik seperti sebuah lukisan. Karenanya, Edo pantang menggunting atau memotong kain Batik. Ia memilih pendekatan baru dengan membuat pola terlebih dahulu. Baru setelah pola itu lahir, kain-kainnya siap untuk di-Batik. Ini perlu dilakukan agar proses interaksi dengan para artisan batik dilakukan sejak awal.

"Saya ingin ketika busana saya dikenakan, burung-burung di dalam motif Sawunggaling itu terlihat seperti terbang," kata Edo belum lama ini.

Ia memilih motif Sawunggaling karena memiliki makna tentang sebuah kekuatan dan kemenangan. Khusus untuk koleksi kali ini, Edo bekerjasama secara intens dengan seniman batik Nur Cahyo dari Pekalongan.

Berbagai motif Sawunggaling diaplikasikan di atas material sutera atau satin, yang ditransformasi ke dalam potongan gaun cocktail atau dress panjang. Beberapa terlihat mengembang atau flowing, dengan aplikasi lace atau tulle yang implisit. Gaun-gaun tersebut terlihat anggun dan berkelas.

Terasa sekali, dalam lembaran karya Edo, motif tersebut seperti lahir kembali dalam potongan dan warna dengan penuh cita rasa, wibawa, dan bersahaja. Seperti simbol kekuatan dan kemenangan yang sepantasnya.

Ada lagi koleksi Kimono khusus untuk pria, yang meleburkan dua kutub kebudayaan berbeda. Busana berpola T-shaped yang identik dengan busana tradisional Jepang ini diimplementasi di atas kain Batik. Kimono Batik ala Edo

terlihat megah dan subtle. Untuk pria, Kimono Batik ini disandingkan tenun lurik. Ada yang panjang semata kaki, ada pula yang muncul sebagai jaket yang praktis.

Lalu, koleksi The Blanket dihadirkan sebagai mahakarya yang sudah sepantasnya diapresiasi di dalam rumah. Koleksi disuguhkan menjadi lembaran kain Pagi Sore yang dapat digunakan sebagai selimut, bed runner atau wall art. Edo percaya, konsumen loyalnya paham betul bahwa karya-karya ini layak diapresiasi di dalam rumah, tanpa harus kelihatan oleh pihak-pihak di luar rumah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement