Selasa 16 Aug 2016 08:16 WIB

Hilangnya Nilai dan Kesakralan di Indonesia

Red: Karta Raharja Ucu
Ilham Tirta
Foto: istimewa
Ilham Tirta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Ilham Tirta

Peradaban baru muncul untuk mengkritisi peradaban lama. Berdinamika, menyangkal, saling menafikan dan mengatasi. Namun pada banyak hal, peradaban baru tidak melulu lebih baik dari peradaban lama. Mungkin itu yang kini dialami Indonesia, kehilangan jiwa dan kesakralannya.

Ya, Indonesia berhasil menjadi negara industri. Indonesia berhasil mengadopsi segala macam kebaruan yang berkembang cepat bersama teknologi. Tapi di balik semua itu, negara ini menjadi pesakitan. Di sini, terjadi seorang anak membunuh bapaknya, pelitikus menjadi mafia dan antek asing, oknum penegak hukum menjadi gembong narkoba, dan pemuda menjadi berandalan. Bahkan, bendera berbau primordial kini berkibar menyaingi Merah Putih.

Padahal, jauh hari sebelum 28 Oktober 1928, semangat para pemuda lahir dari berbagai latar yang berbeda. Kongres Pemuda menyatukan setiap semangat tersebut menjadi bola api yang menggelinding jauh hingga terwujudnya Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tanah dan air dipatok, bendera kebangsaan dikibarkan, dan bahasa persatuan dijunjung. Indonesia dan semua pernak-perniknya yang sakral mengalihkan semua perbedaan yang ada.

Hingga kini, Indonesia memiliki 163 Pahlawan Nasional. Merekalah yang berjuang menumpahkan keringat dan darah untuk kemerdekaan. Tentu, semua itu dibuat bukan sekadar untuk dikenang. Sebab, pusat dari sebuah perjuangan sesungguhnya tidak terletak pada siapa orangnya, siapa pahlawannya, tapi pada apa tindakannya. Singkatnya, tindakan heroiklah yang melahirkan seorang hero.

Para pahlawan nasional adalah mereka yang membentuk nilai-nilai yang digali dari perut bumi Indonesia sendiri. Jika merujuk pada pendapat AW Green bahwa nilai adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek, maka nilai asusila, kesopanan, agama, dan hukum yang tertanam di masyarakat seharusnya menjadikan bangsa ini bergerak maju dengan sedikit cela. Namun, yang terjadi kebalikannya. Indonesia di awal abad 21 semakin tergerus ke dalam apa yang dikatakan Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History: negara yang terancam bubar jalan.

Pengagum demokrasi liberal itu mungkin terlalu berlebihan dalam menyimpulkan kondisi Indonesia, tapi setidaknya itu harus menjadi catatan penting bahwa negara ini terancam masalah super serius. Ada tanda-tanda kemerosotan yang harus disadari oleh semua warga negara, utamanya mereka yang mendapat mandat rakyat di pemerintahan dan parlemen.

Indonesia butuh semangat kepahlawanan yang sama dengan para pahlawan nasional. Indonesia butuh generasi yang menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku di masyarakat. Namun, nilai itu tidak muncul dalam detak jantung pemuda yang menduduki patung pahlawan di Tugu Sujono, Simalungun, Sumatra Utara pada awal Mei lalu. Para remaja itu sebenarnya generasi terdidik, namun mereka seperti hidup dalam jiwa yang terasing, kosong akan nilai-nilai keindonesiaan.

Saya sendiri tertegun ketika hukum kebiri kimia mulai diwacanakan pada Mei 2016. Di mana manusia sengaja dibuat cacat seperti hewan. Namun, bukan itu yang membuat dahi menyerngit, tapi sebuah tanya, apakah masyarakat Indonesia sudah separah itu? hingga hukum harus seekstrem itu.

Kita tahu bagaimana kejinya pemerkosaan terhadap Yuyun di Bengkulu, pemerkosaan karyawan bernama Eno di Tangerang, dan banyak pemerkosaan lainnya yang terjadi hampir setiap hari. Bahkan, muncul sekelompok anak yang menamakan diri geng pemerkosa di Semarang.

Terakhir, kasus pemerkosaan secara bergilir dialami siswi SMP berinisial L (14 tahun) di Semarang, pekan lalu. L yang terluka karena disiksa ditinggal begitu saja di sebuah gubuk. Sehari kemudian, L ditemukan warga saat bersembunyi di sebuah masjid dengan pakaian setengah telanjang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement