Selasa 16 Aug 2016 08:16 WIB

Hilangnya Nilai dan Kesakralan di Indonesia

Red: Karta Raharja Ucu
Ilham Tirta
Foto:

Kejahatan seperti pencurian dan perampokan juga telah bermetamorfosa ke wajah yang lebih garang. Muncul penjambret dan pembegal yang tidak segan lagi menghabisi nyawa korbannya dengan sadis. Seakan harga kendaraan dan barang berharga lain yang diincar jauh lebih penting dari nyawa seorang manusia. Terjadi pengabaian, bahwa korban adalah ayah dari anaknya, putra dari ibunya, kakak dari saudaranya, dan suami dari istrinya. Terjadi pengabaian terhadap tenggang rasa atas derita akibat kenekatan mereka. 

Semua itu menunjukan moral generasi Indonesia telah jatuh terlalu dalam. Kesakralan pernikahan, penghormatan terhadap tubuh wanita, penghargaan terhadap nyawa manusia, dan perlindungan terhadap yang lemah tidak lagi penting. Empat norma itu kini jauh dari kehidupan generasi yang akan memegang tampuk pimpinan bangsa di masa depan.

Pada 2001, guru SMP saya di Bima, Nusa Tenggara Barat pernah mengatakan, saat ini orang Indonesia bisa diatur sesuai kehendak bangsa lain. Ada sesuatu, kata dia, yang dilepas di atas langit untuk memengaruhi otak manusia, di mana kemarahan, nafsu birahi dan sebagainya memuncak karenanya.

Sepuluh tahun saya mengabaikan perkataan itu, hingga fakta-fakta sosial bermunculan. Mungkin guru itu tidak benar seratus persen, namun jika diuraikan, itu akan merujuk pada pengaruh internet yang belum satu dekade ini menguasai kehidupan bangsa kita. Hanya saja, saat itu kami di Bima belum mengenal kata internet.

Narkoba, minuman beralkohol, dan pornografi-pornoaksi yang tersebar luas di internet memang awal Indonesia kehilangan generasi terbaiknya. Kebanyakan masalah pemerkosaan dan pembunuhan selalu diawali dengan minuman keras, narkoba, dan video porno.

Lagi pula, bagaimana seseorang bisa berasusila jika pikirannya terpengaruhi alkohol dan narkoba. Bagaimana seseorang bisa saling menghargai jika dirinya dikuasai oleh nafsu birahi dan urusan perutnya sendiri. Apa yang terjadi pada Yuyun, Eno, dan korban pemerkosaan lainnya adalah implikasi dari hilangnya kesadaran akan tata sosial yang berkesopanan, beragama, dan berhukum.

Soal supermasi hukum, negara ini pun terpincang. Banyak ketidakjujuran yang terjadi sehingga masyarakat antipati terhadap aparat penegak hukum. Jaksa, hakim, panitera, sampai pengacara malah menjadi tersangka kasus korupsi. Pengacara OC Kaligis yang terkenal itu baru divonis 10 tahun. Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman juga sedang menjalani berbagai sidang di Tipikor.

Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum juga semakin menciut. Banyak masyarakat yang menganggap hukum masih tidak adil bagi masyarakat kecil. Lebih menghawatirkan lagi banyak oknum aparat yang disebut menjadi penjahat. Padahal, di tangan merekalah hukum itu ditegakkan.

Kita tak bisa bertanya kepada Santoso, gembong teroris yang tewas ditembak mati di lereng Pegunungan Biru, Poso bulan lalu, tentang motifnya menyatakan diri berjuang membunuh aparat Kepolisian.

Namun ini menarik karena Kepolisian sebagai lambang hukum menjadi alasan sekelompok orang menjadi teroris. Setidaknya, beberapa serangan yang dilakukan oleh kelompok ini mengkonfirmasi polisilah musuh mereka.

Santoso adalah pemuda yang memikul beban balas dendam setelah konflik Poso sekitar medio 2000-an. Pengamat terorisme dari Barometer Institute, Robi Sugara mengatakan, balas dendam ini dilatari adanya perlakuan yang tidak adil karena banyak masyarakat yang terbunuh dalam berbagai operasi aparat keamanan. Bahkan, Robi berpendapat, masyarakat Poso mendukung perjuangan Santoso untuk membunuh polisi.

"Ada operasi yang ratusan orang ditembak polisi, saat itu keluarganya melihat atau jika tidak, mereka melihat ketika dimandikan," katanya.

Kita juga tidak bisa bertanya kepada gembong narkoba yang tewas di ujung peluru regu tembak mati di Nusakambangan, Freddy Budiman, bagaimana dia berkawan dengan aparat keamanan dalam bisnisnya. Namun, artikel Haris Azhar setidaknya membuka jalan untuk mengungkap aparat kacungan di sekitar barang haram tersebut.

Saya rasa, Haris Azhar tidak sedang melucu dengan artikelnya terkait pengakuan Freddy yang menggemparkan itu. Masa depan jutaan generasi muda Indonesia cukup menjadi alasan Haris memasang badan melawan aparat yang sebenarnya masih abu-abu, yang mana aparat baik dan yang merangkap penjahat. Haris memang tidak harus menanggung manik-manik penyesalan karena tidak berbuat atas apa yang ia ketahui.

Saat ini, kita tinggal menunggu implementasi dari niat baik BNN, Polri, dan TNI untuk mengungkap kasus ini. Aparat sendiri memiliki tantangan kredibilitas yang cukup hebat. Tentu, apa pun hasil penelusuran tim gabungan harus bisa dipercaya publik, kepercayaan yang selama ini telah hilang dan sedang diperbaiki oleh aparat di masing-masing institusi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement