Selasa 09 Oct 2018 20:32 WIB

Didin Hafidhuddin: Miftah Buktikan Cinta Agama dan Negara

Miftah menolak bertanding karena harus mencopot jilbabnya.

Red: Israr Itah
Atlet Judo Indonesia Miftahul Jannah menghadiri konferensi pers mengenai didiskualifikasi dirinya pada pertandingan kelas 52 kg Blind Judo Asian Para Games 2018 di GBK Arena, Jakarta, Selasa (9/10).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Atlet Judo Indonesia Miftahul Jannah menghadiri konferensi pers mengenai didiskualifikasi dirinya pada pertandingan kelas 52 kg Blind Judo Asian Para Games 2018 di GBK Arena, Jakarta, Selasa (9/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Didin Hafidhuddin mengapresiasi keputusan pejudo difabel Indonesia asal Aceh, Miftahul Jannah. Miftah menolak bertanding pada kelas 52 kg difabel netra karena harus mencopot jilbabnya, sesuai aturan pertandingan yang berlaku pada cabang olahraga judo Asian Para Games 2018.

"Miftahul Jannah adalah contoh sosok Muslimah yang konsisten pada ajaran agamanya, sekaligus cinta pada negara dan bangsanya. Tetap berjilbab dan menutup aurat pada saat bertanding dalam pesta olahraga mengibarkan panji-panji NKRI," kata Didin kepada Republika.co.id, Selasa (9/10). 

Miftahul terdiskualifikasi dari pertandingan judo difabel netra Asian Para Games 2018 di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Senin (8/10). Ia tidak dapat mengikuti pertandingan akibat enggan mengikuti aturan pertandingan, yaitu melepas jilbab.

Penanggung jawab pertandingan judo Asian Para Games 2018 Ahmad Bahar mengatakan, ada aturan wasit dan aturan pertandingan tingkat internasional di Federasi Olahraga Buta Internasional (IBSA) bahwa pemain tidak boleh menggunakan jilbab dan harus melepasnya saat bertanding. Sebab dalam pertandingan judo ada teknik bawah dan jilbab akan mengganggu dan dapat membuat atlet tercekik.

Akan tetapi pada Olimpiade 2012, atlet judo Arab Saudi Wojdan Shaherkani diizinkan bertanding mengenakan hijab. Namun, hijab yang dikenakannya didesain khusus untuk meminimalisasi bahaya yang timbul dalam pertarungan.

Inilah yang dinginkan oleh Didin, yakni adanya kompromi aturan permainan dengan nilai-nilai yang dipegang teguh atlet. 

"Seharusnya Miftahul Jannah tdk didiskualifikasi hanya karena konsisten dalam berpakaian sesuai syariat. Harusnya aturan permainan mengakomodasi perbedaan dan menunjukkan semangat toleransi," kata Didin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement