Sabtu 06 Mar 2021 13:54 WIB

Ini Alasan Anak Putus Sekolah Menurut KPAI

Negara harus hadir untuk mencegah angka putus sekolah yang semain tinggi.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Agus Yulianto
Tak ada guru dan minim prasarana, Babinsa mengajar puluhan anak putus sekolah di daerah terpencil.
Foto: dok. Kodam XVI Pattimura
Tak ada guru dan minim prasarana, Babinsa mengajar puluhan anak putus sekolah di daerah terpencil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lima alasan anak putus sekolah selama masa pandemi. Kelima alasan tersebut adalah menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, kecanduan game online, dan meninggal dunia.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan pandemi Covid-19 sudah berlangsung setahun. Menurutnya, mestinya pemerintah daerah sudah dapat memetakan permasalahan pendidikan di wilayahnya sehingga tidak ada peserta didik yang putus sekolah.

"Namun faktanya, KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukkan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin," kata Retno, Sabtu (6/3).

KPAI melakukan pantauan di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Provinsi DKI Jakarta. Pengawasan dilakukan secara langsung oleh jaringan guru Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).

Alasan putus sekolah pertama adalah karena siswa menikah. Berdasarkan pantauan KPAI jumlahnya mencapai 33 peserta didik. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII yang beberapa bulan lagi akan menjalankan ujian kelulusan sekolah.

"Angka 33 di awal tahun 2021 merupakan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2020 dari hasil pengawasan penyiapan sekolah tatap muka diperoleh angka putus sekolah mencapai 119 kasus," kata Retno menjelaskan.

Alasan kedua adalah siswa yang putus sekolah karena harus bekerja. Pandemi berdampak besar terhadap ekonomi masyarakat sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga. Siswa yang putus sekolah karena bekerja ini ada yang menjadi buruh bangunan, dan ada yang membantu usaha orang tuanya.

Selanjutnya, alasan ketiga adalah siswa menunggak SPP selama berbulan-bulan. Jumlah laporan terkait penunggakan SPP yang diterima KPAI cukup tinggi. Sejak Maret 2020 hingga Februari 2021 terdapat 34 kasus. Hampir 90 persen laporan berasal dari sekolah swasta.

"Pihak sekolah swasta yang juga turut terdampak dari penunggakan tersebut, umumnya melayangkan surat tagihan kepada orangtua siswa dan memberikan syarat harus membayar dengan mengangsur. Namun, karena memang tidak ada uang untuk membayar sama sekali, maka banyak orangtua memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolah," kata dia menambahkan.

Retno mengatakan, alasan putus sekolah keempat adalah anak-anak kecanduan game online. Di Kota Cimahi, terdapat dua anak kelas VII SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online. Satu diantaranya memilih untuk cuti karena akan mengikuti pemulihan secara psikologi.

Sementara itu, alasan kelima putus sekolah adalah karena anak meninggal dunia. Pantauan ini tercatat di Kabupaten Bima, siswa terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu.

Lebih lanjut, Retno mengatakan, negara harus hadir untuk mencegah angka putus sekolah yang semain tinggi. Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah harus melakukan pemetaan peserta didik yang putus sekolah beserta alasannya.

"Hasil pemetaan dapat digunakan sebagai intervensi pencegahan oleh negara. Hak atas pendidikan adalah hak dasar yang wajib dipenuhi negara dalam keadaan apapun," kata Retno menegaskan.

Selain itu, KPAI juga mendorong agar tidak ada lagi sekolah yang mengeluarkan peserta didiknya karena menunggak SPP. Pemerintah daerah wajib membantu sekolah yang anak-anaknya mayoritas dari keluarga tidak mampu sehingga guru bisa tetap mendapatkan gaji.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement