Rabu 17 Feb 2021 14:35 WIB

Naiknya Angka Putus Sekolah dan Pernikahan Anak Kala Pandemi

KPAI hari ini merilis temuan hasil pengawasan sistem PJJ kala pandemi.

Petugas BPBD Padang menyemprotkan disinfektan di SMPN 10 Padang, Sumatera Barat, Selasa (16/2/). Berdasarkan data Kemendikbud, jumlah sekolah yang melakukan pembelajaran tatap muka sebanyak 15,5 persen dari total seluruh sekolah. (ilustrasi)
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Petugas BPBD Padang menyemprotkan disinfektan di SMPN 10 Padang, Sumatera Barat, Selasa (16/2/). Berdasarkan data Kemendikbud, jumlah sekolah yang melakukan pembelajaran tatap muka sebanyak 15,5 persen dari total seluruh sekolah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mabruroh, Inas Widyanuratikah

Baca Juga

Pandemi Covid-19 berpotensi meningkatkan angka kasus putus sekolah dan pernikahan anak. Demikian hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang diumumkan hari ini.

"Hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa pandemi berpotensi kuat meningkatnya angka putus sekolah dan pernikahan anak," kata Retno dalam siaran pers, Rabu (17/2).

Menurut Retno, selama pandemi angka pengaduan orang tua siswa tinggi karena kesulitan membayar SPP di berbagai daerah, terutama di sekolah-sekolah swasta. Kasus-kasus tersebut diselesaikan melalui mediasi dengan melibatkan Dinas Pendidikan setempat sebagai pengawas dan Pembina sekolah-sekolah negeri maupun sekolah-sekolah swasta.

Pengaduan mulai dari meminta pengurangan SPP karena adanya kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) dan masalah tunggakan SPP, mulai dari tunggakan 3 bulan sampai 10 bulan. Pengaduan meliputi jenjang PAUD sampai SMA/SMK, baik sekolah negeri maupun swasta, tetapi yang terbanyak sekolah swasta.

Pengaduan berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Lampung, Medan, Makassar, Denpasar, dan Kota Pekanbaru. Pengaduan terbesar berasal dari DKI Jakarta sebesar 45,2 persen, lalu disusul Jawa Barat 22,58 persen, Banten 9,67 persen, Jawa Tengah 6,45 persen, Lampung 3,22 persen, Sumatera Utara 3,22 persen, Sulawesi Selatan 3,22 persen, Riau 3,22 persen, dan Bali 3,22 persen.

“Meskipun DKI Jakarta masuk pengaduan terbanyak, namun Dinas Pendidikan DKI Jakarta sangat kooperatif dalam upaya menyelesaikan dan memiliki program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan KJP Plus bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, sehingga memudahkan penyelesaian,” ujar Retno.

Kemudian, ujar Retno, pandemi Covid-19 dan kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar dari rumah (BDR) atau PJJ menjadi salah satu pemicu peserta didik berhenti sekolah. Para pelajar ini memilih melakukan pernikahan dini atau bekerja membantu ekonomi keluarga mereka, karena banyak orangtuanya yang kehilangan pekerjaan.

"Ketika anak menikah atau bekerja, maka secara otomatis berhenti sekolah," kata Retno.

Retno menceritakan, saat KPAI melakukan pengawasan penyiapan buka sekolah di provinsi di Pulau Jawa ditambah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bengkulu, ternyata beberapa kepala sekolah menyampaikan bahwa ada peserta didiknya yang putus sekolah. Mereka putus sekolah karena tidak memiliki alat daring, kalaupun punya tidak mampu membeli kuota internet, sehingga anak-anak tersebut selama berbulan-bulan tidak mengikuti PJJ, dan akhirnya ada yang memutuskan bekerja dan menikah.

"Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya beriksar 15-18 tahun," ungkap Retno.

Pihak sekolah mengetahui siswanya menikah atau bekerja dari kunjungan ke rumah orangtua peserta didik. Anak-anak itu awalnya tidak muncul saat PJJ berlangsung dan tidak pernah lagi mengumpulkan tugas, sehingga pihak sekolah mengunjungi rumahnya.

Saat didatangi wali kelas dan guru Bimbingan Konseling, sekolah baru mengetahui bahwa siswa yang bersangkutan mau menikah, atau sudah menikah, atau sudah bekerja.

“Ada kisah inspiratif di Kabupaten Bima dan  Lombok Barat (NTB) di mana pihak sekolah berhasil membujuk siswa dan orangtua untuk melanjutkan pendidikan yang tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan. Usaha para guru tersebut patut di apresiasi,” kata Retno.

Dari data diperoleh jenis pekerjaan para siswa umumnya pekerjaan informal seperti tukang parkir, kerja di tempat pencucian motor, bekerja di bengkel motor, di percetakan, berjualan bensin di rumah, asisten rumah tangga (ART) dan ada juga yang membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak mampu lagi membayar karyawan. Bahkan, di salah satu SMK swasta di Jakarta yang mayoritas siswanya memang dari keluarga tidak mampu, rata-rata per kelas ada 4 siswa yang bekerja.

Namun, kemudian mereka diberikan kesempatan untuk menyusulkan tugas-tugasnya, sedangkan mengenai bayaran sekolah (SPP) mereka mendapatkan KJP  Plus (Kartu Jakarta Pintar Plus). Sedangkan di daerah lain belum tentu terbiaya pemerintah daerah, terutama untuk jenjang SMA/SMK.

Selain itu, aktivitas belajar di rumah tanpa pengawasan orang tua akan berpotensi mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Ini terjadi bila pengawasan orang tua terhadap anaknya sangat lemah.

"Tidak dapat dihindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini," tambah Retno.

KPAI mendorong Kemdikbud dan Dinas Pendidikan melakukan pemetaan dan membuat program pembagian alat daring untuk PJJ. Sehingga anak-anak yang tidak memiliki alat daring bisa dipinjamkan melalui sekolah dan diberikan bantuan kuota internet.

"Bagi daerah yang blank spot diberikan bantuan penguat sinyal sehingga PJJ dapat berlangsung, anak-anak tetap memiliki keteraturan dalam pembelajaran," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement