Merindukan Matahari di Sao Paulo
REPUBLIKA.CO.ID, SAO PAULO -- Sepanjang hampir dua pekan, Republika Online (ROL) tinggal di Sao Paolo, Brasil, jarang sekali matahari menampakkan diri. Sinar matahari hanya sesekali muncul biasanya hanya satu atau dua menit dan selebihnya mendung.
Pernah dalam sehari matahari benar-benar sembunyi. Suhu pun tak pernah lebih dari 20 derajat Celcius. Dingin. Suhu paling dingin selama saya di Sao Paulo, ROL rasakan pada Kamis (19/6), suhu mencapai 10 derajat Celsius.
Untunglah ROL membawa jaket lumayan tebal dari Indonesia, meski sebelum tiba di Brasil banyak yang mengabarkan iklim di negeri Samba adalah tropis sehingga suhunya tak beda jauh dengan di Indonesia.
Ternyata dengan wilayah Brasil yang begitu luas, suhu di 12 kota penyelenggara Piala Dunia 2014 di pun berbeda beda. Ada yang hangat, panas, dan dingin seperti di Sao Paulo. Tak aneh bila orang-orang di Sao Paulo selalu mengenakan jaket saat di dalam maupun di luar rumah.
Sehari-hari, sebagian besar dari mereka juga mengenakan sepatu, nyaris tak ada yang memakai sandal. Sinar matahari yang sesekali muncul menjadi sesuatu yang ROL nantikan setiap menunggu di halte bus untuk menuju stadion Arena Corinthians ataupun FIFA Fanfest.
Meski terkadang hanya beberapa detik sinar matahari muncul, tapi cukup untuk mengurangi hawa dingin yang menyelimuti badan. ROL kini memahami mengapa orang-orang yang berasal dari negara empat musim seperti di Eropa sangat senang berkunjung ke Indonesia sambil berjemur. ROL kini merindukan matahari.