Ada Apa, Menneer?
Oleh: M. Nursyamsyi
Puja-puji tentang briliannya taktik yang diterapkan pelatih Belanda ternyata hanya sampai di babak semifinal. Sebelum tersingkir oleh Argentina di semifinal, Belanda sejatinya menampilkan performa menawan.
Berawal dari laga pembuka di mana anak asuhnya secara mengejutkan meluluhlantakkan juara bertahan Spanyol dengan skor telak 5-1. Lalu, Cile dan Australia menjadi korban selanjutnya.
Poin maksimal yang diraih pada fase penyisihan tentu membuat pede anak-anak Belanda yang diisi mayoritas muka-muka baru. Meski Belanda tampil cukup superior pada fase penyisihan, banyak kalangan menilai Van Gaal telah merusak gaya sepak bola menyerang sebagai kunci utama bermain. Total football tentu melekat erat dalam balutan jersey oranye-oranye dalam setiap turnamen.
Di Brasil, Van Gaal bermain lebih pragmatis dengan menghajar lawan lewat serangan balik yang mematikan. Formula yang diterapkannya cenderung sukses besar. Rapatnya tiga tembok kokoh yang diisi De Vrij, Ron Vlaar, dan Martins Indi menjadi batu karang yang sulit ditembus tim lawan. Belum lagi disiplinnya bek sayap Daley Blind dan Daryl Janmaat yang membuat lawan tak punya celah untuk melakukan crossing.
“Kegilaan” Van Gaal tak sampai di situ. Dia seakan memaksakan Dirk Kuyt mengisi pos bek sayap kanan meski perjudiannya ini tak bisa dibilang gagal. Dengan mengandalkan pola 5-3-2 seperti ini, tentu sangat bergantung pada kecepatan pemain depan. Arjen Robben-lah otak dari segala ancaman yang ditimbulkan Belanda.
Spanyol, Cile, Australia, Meksiko, hingga Kosta Rika merasakan bagaimana sulitnya menghentikan pemain Bayern Muenchen tersebut. Robben benar-benar menjadi “nyawa” dari Belanda pada Piala Dunia kali ini. Pergerakannya dalam membongkar pertahanan lawan membuat beberapa pemain lawan terlalu menaruh fokus kepadanya.
Segala yang ada di pikiran Van Gaal tampaknya berjalan lancar. Bahkan, hingga babak perempat final ketika dia melakukan pergantian “liar” dengan menggantikan kiper utama Jasper Cillessen dengan Tim Krul hanya beberapa detik sebelum babak adu penalti dimulai. Jelas saja, Cillessen yang tampil apik dan selalu bermain full selama 90 menit merasa kecewa, bahkan dia terlihat menendang botol air mineral sesaat setelah diganti.
Namun, Van Gaal bukan tanpa pertimbangan melakukan pergantian ini. Van Gaal menilai track record Krul dalam menghadapi tendangan penalti jauh lebih baik dibandingkan Cillessen. Tak hanya itu, jangkauan tangan Krul juga dinilai lebih panjang. Benar saja, semua tendangan pemain Kosta Rika tertebak semua dan Krul langsung disambut bak pahlawan. Dan, Van Gaal tersenyum.
Hingga akhirnya pada babak semifinal Belanda bertemu Argentina yang dapat dibilang tidak terlalu meyakinkan untuk sampai ke tahap ini. Berbeda dengan laga sebelumnya antara tuan rumah Brasil melawan Jerman yang sangat memanjakan mata melihat banyaknya gol tercipta, dalam laga ini pertandingan terasa menjemukan dengan monotonnya serangan dari kedua tim.
Tanda-tanda akan sirnanya taktik Van Gaal mulai terlihat pada babak pertama di mana sang “nyawa” tim, Arjen Robben, tak terlihat seperti biasanya. Pressure ketat yang diterapkan pelatih Argentina, Alejandro Sabella, dengan menaruh beberapa pemainnya untuk mengintai Robben membuat mantan pemain Chelsea tersebut tak bisa berbuat banyak. Pun, demikian halnya Robin van Persie yang tidak mendapat pasokan bola yang matang dari rekan-rekannya.
Sejatinya, Argentina juga tidak dapat dibilang spesial. Jika tim Tango berhasil mematikan Robben, barisan belakang Belanda yang dikomandoi Ron Vlaar juga berhasil mematikan Lionel Messi. Hasil imbang terlebih dengan skor kacamata memang sudah pas sekali untuk kedua tim. Namun, apa daya laga harus diteruskan hingga menemukan pemenangnya.
Belanda tentu pede sekali setelah sebelumnya berhasil lolos lewat babak adu penalti kala berhadapan dengan Kosta Rika. Namun, Van Gaal tidak memainkan kembali Tim Krul untuk mengawal gawang, tetapi memberikan kepercayaan bagi Cillessen untuk dapat membuktikan dirinya.
Dan, Cillessen yang belum pernah menggagalkan tendangan penalti selama karier profesionalnya akhirnya meneruskan catatan negatifnya dalam laga ini. Kiper berusia 25 tahun itu tak mampu menghalau satu tendangan pun dari pemain Argentina.
Nasi sudah menjadi bubur, Van Gaal tetaplah Van Gal yang kukuh akan pendiriannya. Pelatih yang akan membesut Manchester United itu mengatakan dia tidak tertarik pada apa yang dikatakan orang-orang terhadap ia atau timnya.
Pelatih berusia 62 tahun itu menyesalkan minimnya peluang yang diciptakan timnya. Meski kalah, dia memuji skuat asuhannya yang menurutnya tampil melebihi harapan publik Belanda. "Argentina adalah negara hebat dengan pemain-pemain hebat. Penalti itu hanya soal keberuntungan dan saya mengajari Sergio Romero cara menghentikan penalti, jadi ini terasa menyakitkan," kata dia.