Peredaran Vaksin Palsu Mengkhawatirkan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR Andi Fauziah Pujiwatie Hatta mengkhawatirkan efek samping yang ditimbulkan bagi tubuh manusia terutama anak-anak akibat penyuntikan vaksin palsu. Apalagi, peredarannya telah terjadi selama kurun waktu 13 tahun di tiga daerah, Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
“Sebetulnya walau kandungannya hanya nol koma sekian persen, menurut saya sudah mengkhawatirkan, karena itu langsung kontak ke tubuh. Tentu ada reaksi-reaksi tubuh atas zat yang disuntikkan ke dalam tubuh anak-anak. Kemarin IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) sudah menyatakan efek sampaingnya bisa diabaikan. Semoga saja zat-zat yang disuntikkan dari vaksin palsu itu memang tidak menyebabkan sesuatu bagi anak-anak,” kata dia, Selasa (28/6).
Perempuan yang biasa disapa Ichi ini menuturkan, Komisi IX merasa kecewa dengan jawaban Menkes saat rapat. Begitu pula dengan BPOM yang belum tahu kandungan vaksin tersebut. Padahal, Komisi IX sudah sepekan lalu bertanya dan belum ada jawaban.
“Kami kemarin agak kesal, karena kasus ini sudah seminggu ditanyakan ke BPOM. Mereka beralasan bahwa baru akan mengambil sampel dari pihak Kepolisian. Tetapi, karena tidak diperkenankan oleh polisi, mereka coba kumpulkan dari tempat-tempat lain,” kata dia.
Saat ini, vaksin palsu masih dalam proses uji laboratorium. Informasi yang menyebutkan bahwa vaksin itu mengandung cairan infus dan antibiotik juga tidak selamanya benar. Kemenkes belum memberi keterangan yang pasti. Kemenkes hanya memastikan bahwa dari jalur resmi tidak ada vaksin palsu.
“Saya curiga ada oknum yang bermain, sebab sudah 13 tahun kejadian ini berlangsung dan berulang,” kata Ichi.
Dia mengatakan, Kemenkes maupun BPOM dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini. Sebab, keduanya adalah yang utama dalam masalah tersebut. Komisi IX telah meminta kepada BPOM agar meningkatkan kewaspadaannya karena hal ini merupakan kejadian yang sudah berulang.