'Perlu Penataan untuk Minimalisasi Perusahaan Pelanggar Aturan Lahan'
REPUBLIKA.CO.ID, PALANGKA RAYA -- Sebanyak 120 perusahaan di Kalimantan Tengah diduga melanggar petaruran terkait hak guna lahan. Komisi IV DPR menduga setidaknya ada 120 perusahaan pelanggar aturan di Kalimantan Tengah. Perusahaan yang belum melengkapi perizinan, AMDAL, hingga Hak Guna Usaha (HGU) itu tetap mengelola lahan yang mencapai 800 ribu hektare. Diduga, akibat dari operasional tanpa izin itu, negara dirugikan triliunan rupiah setiap tahunnya.
Anggota Komisi IV DPR Henky Kurniadi mengatakan, perlu ada penataan secara tegas, agar pelanggaran aturan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan tidak terjadi terus menerus. Sebab, jika permasalahan ini tidak diselesaikan sejak dini, maka akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar.
Demikian diungkapkannya usai pertemuan dalam rangka kunjungan kerja spesifik dengan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perwakilan dinas-dinas di lingkungan Pemprov Kalteng, serta direksi perusahaan pelanggar aturan, di Palangka Raya, Kalteng, Rabu (26/10) malam.
120 Perusahaan Perkebunan di Kalteng Langgar Berbagai Aturan
“Penataan itu bisa melalui undang-undang. Karena kalau tidak ditata dari sekarang, ada permasalahan hukum yang tidak diselesaikan, ada masalah unsur koruptif, kemudian tak ada izin, dan akhirnya tidak membayar PBB dan PNBP, menyebabkan tidak ada dana yang masuk ke keuangan negara. Seharusnya, masuk ke keuangan negara tapi malah masuk ke yang tidak resmi. Dan itu jumlahnya cukup banyak,” kata Henky.
Menurut politisi F-PDI Perjuangan itu, akibat tidak adanya dana yang masuk ke keuangan negara, menimbulkan permasalahan di daerah, yang berimbas pada sulitnya pembangunan infrastruktur. Perlu ada satu jalan keluar untuk ke sekian banyaknya perusahaan itu, karena Henky yakin, mereka masih punya itikad baik membangun negara.
Henky menambahkan, salah satu hal yang menyebabkan banyaknya perusahaan melanggar aturan itu karena sudah keterlanjuran selama puluhan tahun. Kemudian ada suatu ketidakjelasan tata ruang dan tata wilayah, termasuk belum adanya kepastian hukum.
“Belum lagi, adanya celah hukum yang dimanfaatkan oleh oknum. Karena itu perlu ditata. Harus dibuat kepastian hukum yang jelas, memberikan suatu tata ruang yang jelas, sehingga menjadi produk hukum, dan ada jalan keluar dari berbagai permasalahan. Perusahaan pasti mau jika diberi landasan hukum yang jelas,” kata Henky.
Henky menambahkan, langkah konkret terdekat yang perlu dilakukan adalah perlu adanya suatu political will dari Pemerintah. Dengan total jumlah lahan mencapai 800 ribu hektare, harus segera diberikan jalan keluar, dilengkapi dengan legal formal yang jelas. “Kita berikan jalan keluar untuk membuat suatu perizinan bagi perusahaan yang memiliki itikad baik. Tapi perusahaan yang ingin main-main saja, penegak hukum harus turun menyelesaikan masalah. Tidak bisa begitu saja. Menganbil kekayaan alam Indonesia, juga harus berikan kontribusi yang nyata bagi masyarakat Indonesia,” kata Henky.