DPR: Tax Ratio Indonesia Masih Rendah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pajak merupakan instrumen penting dalam penerimaan negara. Namun dalam praktiknya masih banyak masalah dalam memaksimalkan pendapatan pajak. Yakni meliputi masih kurangnya kesadaran wajib pajak (WP) dan kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan, kemandirian DJP sebagai institusi yang mandiri itu bagian dari revolusi mental sebagaimana cita-cita Presiden Jokowi yang tertuang dalam Nawacita, Trisakti, maupun RJPM.
Indonesia, kata dia, dikategorikan lower middle income countries yang memiliki tax ratio rendah. Data tahun 2015, tax ratio Indonesia 10,47 persen, di bawah rata-rata tax ratio negara lower middle income countries yang mencapai 17,7 persen.
"Rendahnya tax ratio menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, serta kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari sektor-sektor ekonomi belum optimal," kata Misbakhun, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (21/11).
Misbakhun menyebutkan, dari total perbandingan antara besarnya pajak yang dipungut dengan besarnya potensi pajak (tax coverage ratio) hanya mencapai 55 persen, jauh dari angka maksimal 70 persen. Rendahnya penerimaan pajak itu, sambung dia, berdampak terhadap kebijakan fiskal terutama pembiayaan program strategis seperti jaminan sosial, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Menurut Misbakhun, salah satu faktor belum optimalnya penerimaan pajak disebabkan masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia di DJP. Secara kapasitas dan beban kerja, saat ini kondisinya sangat tidak layak.
Dimana saat ini rasio pegawai pajak dengan penduduk di Indonesia mencapai 1:7.700. Fakta tersebut sangat jauh dibandingkan Jerman, yang efektivitas kelembagaan perpajakannya sangat optimal dengan rasio pegawai pajak dengan penduduk hanya sekitar 1:727.
"DJP selama ini sudah melakukan upaya penguatan institusi dengan tambahan pegawai dan infrastruktur, namun perkembangannya belum optimal," ujarnya.
Ia menambahkan, DJP dengan tugas penerimaan pajak yang besar, kelembagaannya hanya berdasar Peraturan Menteri Keuangan sebagai turunan Peraturan Presiden tentang Struktur Organisasi Kementerian, dimana setiap ganti kabinet maka berganti juga perpresnya.
Padahal, UUD menyebutkan bahwa perpajakan diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Saat ini UU tentang subtansi materi pajak yang sudah diatur seperti UU KUP, UU PPH dan UU PPN.
Dalam konteks itu, kata dia, DJP belum memperoleh kewenangan dalam mengatur SDM, organisasi dan anggaran sendiri. DJP sebagai otoritas pajak masih dikelompokkan sebagai single directorate in ministry of finance.
"Oleh karena itu, Indonesia perlu memberikan otonomi pada otoritas pajak, melalui reformasi di sektor penerimaan negara. Dengan otonomi dapat menjadikan organisasi lebih independen sehingga mengurangi tekanan politik terhadap otoritas pajak," ujar dia.