Indonesia Perlu Bentuk Sentra Produksi Pangan Spesifik

dpr
Diskusi di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (9/3), yang membincang kenaikan harga cabe di Tanah Air.
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai perlu segera menetapkan satuan wilayah produksi pertanian untuk membenahi sistem produksi dan permintaan pasar di Tanah Air. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron mengatakan selama ini belum ada penetapan suatu wilayah sebagai sentra komoditas pertanian tertentu. Ke depan ini menjadi kewajiban bagi pemerintah.
 
Demikian disampaikan Herman dalam diskusi di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (9/3), yang membincang kenaikan harga cabe di Tanah Air. Menurut dia, penetapan satuan wilayah penting untuk memaksimalkan produksi pertanian sekaligus mengendalikan harga pasar. Misalnya, di Garut khusus memproduksi cabai atau Brebes jadi wilayah sentra produksi bawang.


Karantina Pertanian Perlu Ketahanan Ekstra
 
“Dengan penetapan satuan wilayah ini akan memastikan diman dan suplai yang harus disiapkan pemerintah. Selama ini belum ada penetapan tersebut. Dan itu wajib ke depan,” ucap Herman.

Mengomentari kenaikan harga cabai yang sangat tinggi, Herman mengatakan, di saat musim hujan atau basah, harga cabai selalu meroket, karena produksi tidak maksimal. Acuan harga cabai memang timpang. Di tingkat petani rendah, di tingkat konsumen malah tinggi.
 
Ada aspek cuaca yang selalu memengaruhi harga komoditas cabai di pasaran. Di kabupaten tertentu, lanjut Herman, malah ada kebijakan agar PNS setempat wajib menanam cabai di polybag. Akibatnya, produksi akan melimpah dan harga di tingkat petani akan tergerus. Di sinilah pentingnya ada penetapan satuan wilayah sebagai sentra produksi cabai. Dalam kondisi seperti ini kartel dan bandar akan tumbuh sumbur.
 
Herman pun menyatakan, sudah lama pihaknya mengusulkan ada instrumen negara yang hadir di tengah masyarakat untuk komoditas tertentu, seperti bulog yang mengatur komoditas padi. Instrumen inilah yang kelak akan melawan kekuatan kartel, bandar, dan para cukong di pasaran. Dengan begitu tak ada lagi lonjakan harga pangan yang tak terkendali sekaligus mengatur harga agar petani tak selalu dirugikan.
 
Anggota Komisi VI DPR Eka Sastra menyorot, peran bulog yang sempat tersingkir akibat liberalisasi perdagangan ketika IMF masuk ke Indonesia tahun 1998. Akibatnya, petani tak kuasa menghadapi para bandar . “Ada kebijakan yang salah dalam menetapkan harga komoditas. Pemerintah mengontrol harga di hulu, tapi melepas harga di hilir,” kata dia.

Ada problem, memang, dengan tata niaga cabai saat ini. Pasar cabai pun dialihkan dari pasar tradisional ke pasar industri yang harganya lumayan tinggi. Para pengusaha besar itu berani membeli mahal, sehingga distribusi cabai di pasar tradisional menyusut. “Jadi, ini bukan semata-mata karena fraktor cuaca yang mengakibatkan harga cabai di pasaran melonjak tajam. Pasokan ke masyarakat pun menurun. Struktur pasar kita masih dikuasai praktik oligopoly dan negara belum tampak hadir,” kata Eka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler