Apindo: Kebijakan Kemudahan Impor Sudah Tepat
Indonesia kini sedang kekurangan ketersediaan bahan baku dan pendukung produksi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, rencana pemerintah untuk memberikan stimulus kepada industri di tengah situasi perlambatan ekonomi saat ini merupakan arah yang tepat. Khususnya untuk mempermudah impor bagi industri yang memang masih membutuhkan bahan baku dari luar negeri, terutama China.
Shinta menjelaskan, kondisi pasar Indonesia kini sedang dalam kondisi kekurangan ketersediaan bahan baku dan pendukung produksi karena disrupsi produksi di China. Apabila impor tidak dilancarkan dari sekarang, kondisi kelangkaan pasokan menjadi hal yang tidak dapat terelak. "Kalau dibiarkan, industri (dalam negeri) akan lebih dulu tutup sebelum bahan baku produksi sampai di Indonesia," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (5/3).
Ancaman terhadap ketersediaan bahan baku semakin tinggi mengingat disrupsi produksi atau supply juga terjadi di negara lain yang sudah terimbas wabah corona. Misalnya saja Jepang dan Korea Selatan yang juga menjadi supplier bahan baku ke Indonesia.
Sedangkan, untuk mencari alternatif pasokan saja sudah sulit. Shinta mengatakan, perusahaan hampir tidak bisa menemukan sumber lain karena kondisi kelangkaan pasokan yang sudah di tahap global.
Jika mekanisme impor tidak di-by pass, perusahaan dalam negeri akan membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai barang supply alternatif dapat digunakan untuk produksi. "Bisa sampai tiga bulan atau lebih, tergantung lartas (larangan dan pembatasan) dan ini akan merugikan industri kita," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, pemerintah akan menekan dampak negatif penyebaran virus corona terhadap industri dari sisi pasokan. Kebijakan ini akan tertuang dalam paket stimulus kedua yang siap dirilis dalam waktu dekat.
Sri mengatakan, wabah virus corona sudah menghambat proses produksi di China. Berdasarkan data yang disampaikan Biro Statistik Nasional setempat, purchasing managers’ index (PMI) Cina berada di rekor terendah pada 36,6 di bulan Februari, turun drastis dibandingkan Januari yang menyentuh 50,0. Bahkan, sub-indeks produksi manufaktur berada di level 27,8 pada Februari, sebelumnya berada di titik 51,3 pada Januari.
Angka-angka itu disebut Sri sebagai gambaran bahwa proses produksi di China memang tidak terjadi. Dampaknya, negara lain, termasuk Indonesia, akan kesulitan mencari bahan baku mengingat China sebagai supplier berbagai material mentah.
Kalaupun dilakukan substitusi ke negara lain, pasti membutuhkan waktu yang tidak sebentar. "Artinya, kita harus siapkan diri kemungkinan terjadinya disrupsi produksi," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Jakarta, Rabu (4/3).
Berkaca dari kondisi itu, Sri menjelaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajaran kementerian/ lembaga untuk mengurangi semaksimal mungkin disrupsi dari sisi supply. Misalnya, melalui relaksasi di sektor perdagangan. Arus impor barang yang selama ini harus melewati sejumlah rangkaian prosedur, akan direlaksasikan atau disimplifikasi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, besaran stimulus paket kedua ini akan lebih tinggi dibandingkan paket stimulus pertama yang sudah terlebih dahulu dirilis pada pekan lalu. Besaran anggaran untuk paket pertama adalah Rp 10,3 triliun. “Nanti pasti lebih besar dari itu,” katanya, kemarin.
Selain kemudahan impor, Airlangga mengatakan, paket ini juga akan meliputi fasilitas kemudahan ekspor. Sistem dari Kementerian Perdagangan akan diintegrasikan dengan Kementerian Perhubungan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu agar dokumentasi ekspor lebih standar dan mudah didapatkan.