Ketika Islam Menyentuh Peradaban China (2)

Di masa kehadiran ulama-ulama dari Arab, Islam berkembang cukup pesat di China.

AP Photo/Mark Schiefelbein
Ketika Islam Menyentuh Peradaban China (1).
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Dinasti Yuan runtuh dan digantikan Dinasti Ming (1368-1644) lewat pemberontakan yang dipimpin Zhu Yuangzhang, banyak prajurit Muslim mengambil peranan. Di antara mereka terdapat jenderal-jenderal Muslim yang terkenal seperti Chang Yuchun, Mu Ying, Hu Dahai, dan Lan Yu.

Setelah Kaisar Zhu berkuasa, para jenderal tersebut memperoleh anugerah menjadi gubernur di beberapa wilayah. Selain itu, kaisar memerintahkan untuk menerjemahkan berbagai buku Islam: sejarah, astronomi, dan syariah dari bahasa Arab ke bahasa China. Ilmuwan China yang mendapat perintah ini adalah Ma Sa Yi Hei dengan dibantu beberapa orang lainnya.

Pada tahun pertama kekuasaannya 1368, Kaisar Zhu juga menitahkan dibangunnya Masjid Jing Jue atau Masjid Jalan San San di Nanjing, ibu kota kerajaan Ming. Pada saat peresmian masjid tersebut, secara khusus Kaisar membuat sajak penghargaan yang terkenal sebagai Sajak Seratus Kata.

Sajak ini berisi syair-syair yang mengagungkan Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam. Sejak itu pembangunan masjid berjalan di berbagai kota besar lainnya, seperti Masjid Jalan Da Xue Xi di kota Xi An (1382). Dakwah Islam pun berkembang lewat dai-dai yang khusus didatangkan dari Arab. Tokoh-tokoh dakwah di masa itu antara lain Haji Amir (1407), Muhammad (1464), Fana (1468) dan Zhan Ma Lu Din (Jamaluddin, 1469).

Di masa kehadiran ulama-ulama dari Arab itulah Islam berkembang cukup pesat. Hal ini bisa berlangsung, karena Kaisar mendukung penuh gerakan ini lewat titahnya yang diukir dalam batu dan diletakkan pada masjid-masjid yang mereka bangun. Beberapa kaisar non-Muslim lalu melakukan berbagai tindakan untuk membatasi ruang gerak Muslim China lewat pembatasan kawin dalam kelompok masyarakat China karena hal itu dianggap akan membuat umat Islam semakin kuat.

Akibatnya, banyak Muslim yang utamanya dari suku bangsa Hui menikah dengan suku bangsa Han. Uniknya, bangsa Han yang menikah dengan bangsa Hui, secara otomatis menjadi bangsa Hui dan memeluk Islam. Dengan demikian, semakin banyak pemeluk Islam di China dan membentuk permukimannya sendiri.

Dengan adanya permukiman Muslim, kebutuhan akan pendidikan semakin besar. Maka dibangunlah madrasah, pesantren, dan masjid-masjid di permukiman Muslim. Tokoh utama dalam pendidikan Islam di China waktu itu adalah Haji Hu Dengzhou (1522-1597).

Baca Juga


Masjid Agung Xian, China. - (Wikipedia)

Para pelajar Muslim itu tinggal dan belajar di sekolahan Islam (pesantren) tersebut dengan bimbingan seorang ulama. Berhubung pada masa itu hanya ada sedikit Alquran, maka banyak santri yang belajar sambil menyalin. Tidak lama sesudah itu, banyak dilakukan penerjemahan buku-buku Islam ke dalam bahasa China.

Hingga pada masa sebelum Dinasti Qing (1763-1785), Islam berkembang dengan baik. Pada awal kekuasaan Dinasti Qing sendiri, sebenarnya penguasa Qing tidak mempersoalkan keberadaan kaum muslimin yang terbilang minoritas di negeri itu. Namun, ketika terjadi pemberontakan bangsa Hui yang mayoritas Muslim pada 1782 di Shanxi dan Gansu, Kaisar Qing melakukan penindasan kepada umat Islam. Selanjutnya, ajaran Islam menjadi sulit berkembang karena diidentikkan dengan pemberontak.

Ketika Republik Rakyat China terbentuk 1912, umat Islam mulai berkembang kembali meski terbatas dari masjid ke masjid atau rumah ke rumah. Namun ketika Mao Tse Tung melancarkan Revolusi Kebudayaan (1966-1976), agama-agama di China, termasuk Islam menjadi sasaran pemusnahan.

Kaum Muslimin menjadi sangat terbatas sekali aktivitasnya. Mereka hanya bisa menegakkan Islam di rumah masing-masing. Kebijakan kekebasan memeluk agama baru diberlakukan kembali pada 1982. Orang China bebas memeluk agama, tapi juga bebas untuk tidak memeluk agama apa pun. Jaminan ini tercantum dalam Konstitusi China Pasal 36.

Meski mereka masih minoritas (hanya sekitar 17 juta orang dari satu miliar lebih penduduk China), namun semangat meningkatkan iman dan keilmuan tetap tinggi. Sebagian dari mereka menganut paham Sunni mazhab Hanafi dan Syiah Ismailiyah. Saat ini, mereka yang sebagian besar bersuku bangsa Hui, Uighur, Kazak, Tatar, Tajik, Uzbek, Kigiz, Dongxian, Sala dan Paoan tersebut telah mencoba merapatkan barisan dan bergabung dalam Chinese Islamic Association. Dakwah pun berkembang di negeri Tirai Bambu ini.

sumber : Harian Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler