Virus Corona dan Kecemasan Naik Transportasi Publik

Timbul pertanyaan adakah kiat aman bertransportasi publik di masa corona.

Antara/Rivan Awal Lingga
Petugas membersihkan salah satu bagian kereta di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (4/3/2020). Timbul kecemasan publik saat harus menggunakan transportasi publik di saat penderita corona terus bertambah.(Antara/Rivan Awal Lingga)
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Puti Almas, Mabruroh, Antara

Imbauan untuk menjaga diri dari virus corona jenis baru atau Covid-19 membuat publik cemas ketika harus menggunakan transportasi publik. Pasalnya menggunakan transportasi publik terkadang tidak bisa dihindari karena beragam faktor.

Salah satu penumpang KRL, Nadine, tidak terlalu khawatir saat harus naik transportasi publik. Padahal sempat muncul foto viral di media sosial yang menyebut KRL rute Jakarta-Depok-Bogor memiliki potensi paling besar dalam penyebaran virus corona.

“Sebenarnya agak rancu kalau dibilang (potensi penyebaran virus corona) paling besar dari KRL. Kalau karena suspect (virus corona) tinggal di Depok, tidak masuk akal dibilang paling besar di KRL, karena kalau masalah kontak dengan orang Depok kan masih ada alat transportasi lain, seperti bus, MRT, dan yang lainnya. Jadi intinya penyebarannya bisa dari mana saja,” kata Nadine.

Pegawai salah satu perusahaan asing di Jakarta Barat itu mengaku selalu menggunakan kereta dari Stasiun Bogor dan turun di Stasiun Karet untuk menuju kantornya. Nadine mengungkapkan, untuk mencegah tertular virus, dia melakukan tindakan preventif. Salah satunya adalah dengan menjaga kesehatan tubuh dan selalu mencuci tangan.

Namun, dia menilai, masih perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat agar secara bersama-sama mencegah penularan virus corona. “Perlu edukasi lebih, terutama buat orang yang suka meludah sembarangan di stasiun,” ujar perempuan berusia 27 tahun itu.

Penumpang lainnya, yakni Habibi pun menyampaikan hal serupa. Dia mengaku tidak takut menggunakan jasa KRL menuju tempat kerjanya di wilayah Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Untuk menghindari penyebaran virus corona, ia memilih menggunakan masker kain yang dapat dicuci dan digunakan berulang kali dan selalu membawa hand sanitizer di dalam tasnya.

“Tidak takut (dengan informasi yang beredar). Kalau kita terlalu khawatir atau panik malah menurut saya justru bikin kita jadi tidak bisa berpikir jernih. Yang penting selalu jaga kesehatan dan kalau ada orang yang terlihat batuk, paling sedikit menghindar saja,” tutur Habibi.

Masyarakat memang diminta mewaspadai corona terutama sejak munculnya kasus positif nomor 27. Yakni kasus dalam kategori local transmission. Alasannya, belum diketahui dari mana sumber virus berasal yang menyebabkan pasien kasus 27 terpapar. Kasus 27 juga tidak tercatat bepergian keluar negeri dalam waktu dekat sebelumnya.

Menurut Dokter Spesialis Anak, Subspealisasi Pulmonolpgo Respirologi, Nastiti Kaswandani, local transmission menimbulkan kemungkinan pasien 27 ini berkontak dengan pasien corona sebelumnya tanpa disadari. "Artinya tertular di dalam negeri, tanpa riwayat ke luar negeri. Sudah ada virus di dalam negeri," kata Nastiti saat dihubungi Republika, Rabu (11/3).

Baca Juga




Namun mengenai seberapa luas penyebarannya, Nastiti tidak bisa memastikan meskipun itu local transmission. "Kalau masalah terminologi luas ya relatif, belum tentu (juga menyebar luas)," kata dia.

Hanya sambungnya, tidak ada salahnya masyarakat mulai meningkatkan kewaspadaan akan virus corona ini. Dengan catatan kata dia, tidak panik berlebihan. "Waspada tapi tidak perlu panik berlebihan," ujarnya.

Penyebaran virus corona bisa terjadi di mana saja, karenanya kata dia, masyarakat sudah harus paham dengan cara pencegahan yang paling utama dari penyebaran virus ini yakni menjaga kebersihan tangan dengan rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun. Selain itu kata Nastiti, harus menjaga kesehatan tubuh dengan mengkonsumsi nutrisi yang seimbang dan istirahat yang cukup.

"Sering-sering cuci tangan, hindari menyentuh wajah, pakai masker jika kurang sehat, nutrisi seimbang istirahat cukup," kata Nastiti.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan Indonesia (Perdopsi) menyarankan agar penumpang yang sakit untuk tidak melakukan penerbangan untuk mencegah penularan virus corona. Ketua Perdopsi dr. Wawan Mulyawan Sp.KP menjelaskan imbauan tersebut agar masyarakat yang sehat tetap bisa terbang dan merasa aman saat melakukan penerbangan.

“Target utama bagaimana agar masyarakat tetap berani menggunakan pesawat terbang. Tagline (slogan) yang kita pakai adalah ‘if you’re sick don’t fly'. Tagline ini ingin kita dorong masyarakat yang sehat yakin kalau terbang dan tidak tertular,” katanya.

Dia menyebutkan, sebanyak 80 persen orang dinyatakan positif terkena virus corona tanpa menunjukkan gejala, dan yang menunjukkan gejala hanya 15 persen dan yang betul-betul sakit lima persen.

Pakar dari Perdopsi lainnya dr Ahmad Hidayat mengatakan kasus yang tidak terdeteksi dari bandara bisa terjadi karena masa inkubasi virus itu selama 14 hari. Artinya, lanjut dia, bisa saja penumpang tersebut sudah terkena virus namun tidak memunculkan gejala.

“Kalau seandainya ada yang lolos mungkin masih masa inkubasi,” katanya.

Menurut dia, peralatan di bandara sudah memadai dan pihak bandara juga sudah melakukan sesuai prosedur. Seperti wajib diperiksa suhu tubuh dengan pemindai (thermal scanner) atau thermal gun serta warga negara asing (WNA) Korea Selatan, Iran dan Italia atau penumpang yang memiliki riwayat perjalanan ke negara-negara tersebut harus mengantongi sertifikat health care alert dari otoritas kesehatan setempat.

Antisipasi Virus Korona. Petugas membersihksn fasilitas gerbong di Stasiun Tugu, Yogyakarta, Jumat (6/3). Untuk antisipasi virus korona, PT KAI Daop VI Yogyakarta selain mengukur suhu tubuh juga menyediakan handsanitizer di beberapa titik stasiun. Serta pelayanan kesehatan gratis, seperti pemberian masker juga pemeriksaan dan pemberian obat gratis. Pembersihan stasiun dan gerbong juga menjadi salah satu yang menjadi perhatian petugas. - (Republika/Wihdan )


Dalam kesempatan sama, pengamat penerbangan dari Communicavia mengatakan bahwa bandara hanya sebagai penyaring (filter) bukan benteng untuk mencegah masuknya virus corona. Namun semua bergantung bagaimana pihak Kementerian Kesehatan sebagai leading sector melakukan komunikasi kepada masyarakat dan Kementerian Perhubungan melaksanakan langkah-langkah mitigasi.

“Ini bagaimana Kemenkes melakukan komunikasi, kalau saya lihat peralatan di bandara itu, thermal scanner semua benda yang bersuhu 37 derajat ke atas itu terdeteksi, entah itu makanan, handphone, kamera,” katanya.

Ia juga menilai prosedur yang dilakukan bandara internasional di Indonesia sudah seperti di negara-negara lain, yang memiliki kasus lebih besar. Di antaranya wajib menyertakan sertifikat kesehatan (health care alert) bagi WNA Italia, Iran dan Korea Selatan.

Dikutip dari BBC, virus biasanya ditangkap oleh tubuh saat menghirup tetesan dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi, serta menyentuh permukaan benda yang terkena. Virus corona jenis baru nampaknya tidak berada di udara dengan cara yang sama seperti flu. Jadi, orang harus berhubungan lebih dekat satu sama lain untuk kemungkinan penularan.

Pedoman dari National Health Service (NHS) atau layanan kesehatan masyarakat Inggris mengenai virus corona adalah kontak dekat, dengan jarak dua meter dari orang yang terinfeksi selama lebih dari 15 menit. Jadi, berbicara mengenai potensi risiko infeksi pada kereta api dan bus tergantung pada seberapa ramai penumang dalam sarana transportasi ini.

Hal itu pun akan bervariasi di berbagai bagian negara dan rute yang berbeda. Di kereta dengan kepadatan yang sangat tinggi dari orang yang berkerumun di masing-masing gerbong kereta, dalam penelitian sebelumnya dikatakan hubungan antara perjalanan menggunakan sarana transportasi ini dan kemungkinan orang-orang terkena penyakit pernapasan.

Lara Gosce, searing dokter di Institute of Global Health mengatakan dalam penelitian yang diterbitkan pada 2018 bahwa orang-orang yang menggunakan kereta api secara rutin lebih mungkin untuk menderita gejala seperti flu. Terlebih, jika perjalanan memiliki jalur yang berbeda, di mana penumpang harus melakukan transit beberapa kali dalam mencapai tujuan mereka.

“Ini memiliki potensi penyakit mirip influenza yang lebih tinggi, dibandingkan kereta yang melayani penumpang  mencapai tujuan mereka dengan satu perjalanan langsung,” ujar Gosce.

Jika bepergian dengan kereta atau bus yang relatif kosong, risiko Anda akan berbeda. Seberapa baik ventilasi kendaraan dan berapa lama Anda menghabiskan waktu di dalamnya juga akan memainkan peran. Pembersihan dalam sarana transportasi itu pun akan menjadi faktor.

Gosce lebih lanjut mengatakan membatasi jumlah kontak dekat dengan individu dan objek yang berpotensi terinfeksi adalah penting. Ia menyarankan untuk menghindari jam sibuk saat melakukan perjalanan dan sebaiknya penumpang memilih rute yang hanya melibatkan satu alat transportasi.

David Nabarro, penasihat khusus virus corona untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa transportasi umum menjadi salah satu faktor yang penting untuk dilihat. Namun bukti menunjukkan bahwa jenis kontak sekilas yang dimiliki orang-orang saat pergi menggunakan kendaraan ini bukan menjadi sumber penularan terpenting.

Selanjutnya adalah bagaimana jika menggunakan pesawat terbang saat berencana pergi ke suatu kota atau wilayah. Ada keyakinan bahwa Anda lebih cenderung sakit di sana karena menghirup udara yang ‘stale’ atau basi.

Kenyataannya, udara di pesawat justru mungkin lebih baik kualitasnya dibandingkan di ruangan lain, termasuk di kereta maupun bus. Memang orang-orang di pesawat dapat terkesan padat dan berdekatan, di mana ini dapat meningkatkan risiko. Namun, udara di dalamnya juga diubah dengan tingkat yang lebih cepat.

Quingyan Chen, profesor di Universitas Purdue yang mempelajari kualitas udara di sejumlah jenis transportasi umum memperkirakan bahwa udara di pesawat diganti sepenuhnya setiap 2-3 menit, dibandingkan dengan setiap 10-12 menit di gedung dengan pendingin ruangan.

Hal itu karena ketika Anda berada di pesawat, udara yang Anda hirup sedang dibersihkan oleh sesuatu yang disebut filter udara partikulat efisiensi tinggi (Hepa). Sistem ini dapat menangkap partikel yang lebih kecil daripada sistem pendingin udara biasa, termasuk virus.

Filter menghisap udara segar dari luar dan mencampurnya dengan udara yang sudah ada di dalam kabin, yang berarti bahwa pada suatu saat separuh udaranya segar dan sebagian lagi tidak. Banyak sistem pendingin udara biasa hanya mensirkulasi ulang udara yang sama untuk menghemat energi.

Selain menghirup tetesan dari seseorang yang batuk atau bersin, virus corona dapat ditularkan dengan menyentuh permukaan yang terkontaminasi oleh tetesan pada mereka yang terinfeksi, baik itu tangan seseorang atau pegangan pintu. Vicki Hertzberg, dari Emory University di Amerika Serikat (AS), mengambil sampel dari permukaan benda pada 10 penerbangan lintas benua pada 2018 dan menemukan itu tampak seperti ruang tamu Anda.

Dengan kata lain, tidak ada yang menonjol dalam sampel pesawat dibandingkan dengan tes yang telah mereka lakukan di bangunan dan jenis transportasi lainnya. Tetapi sulit untuk menggeneralisasi risiko pada segala bentuk transportasi karena ada berbagai faktor yang menambah atau mengurangi risiko.

Sebagai contoh, pada penerbangan jarak jauh, penumpang mungkin akan bergerak lebih banyak dan jika mereka memiliki virus, risiko penyebaran akan menjadi lebih besar. Pedoman WHO adalah bahwa area risiko tertinggi adalah dua baris di depan, di belakang atau di samping orang yang terinfeksi.

Perhatian utama tentang perjalanan udara adalah bagaimana ia dapat mengangkut orang yang berpotensi menular dari satu bagian dunia ke bagian lainnya. Karena itu tidak heran bila muncul larangan penerbangan atau pembatasan penerbangan dari dan ke daerah-daerah yang memiliki penderita corona yang tinggi.









BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler