PKMK UGM Dorong Revisi UU Jaminan Sosial
Pembatalan kenaikan iuran ini dinilai menimbulkan kerugian bagi masyarakat miskin.
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan dengan membatalkan kenaikan iuran BPJS. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengkritisi kebijakan itu.
Ketua PKMK FKKMK UGM, Laksono Trisnantoro menilai, pembatalan kenaikan iuran ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat miskin. Itu terkait dana Penerima Bantuan Iuran Anggaran Pengeluaran Belanja Negara.
Pasalnya, ia menekankan, selama ini dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN tidak tepat sasaran. Yang seharusnya digunakan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu malah dipakai untuk menutup defisit yang disebabkan masyarakat relatif mampu.
"Bila dana PBI APBN tetap dipakai untuk menutup defisit, terutama yang disebabkan PBPU dan kebijakan kompensasi tetap tidak berjalan, maka masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi yang dirugikan," kata Laksono, Senin (16/3).
Ia mengingatkan, saat ini telah terjadi sistem kebebasan yang populis. Sebab, sekelompok rakyat sangat diuntungkan dengan kebijakan JKN, tapi sekelompok lain rakyat dirugikan yakni PBI APBN.
Selain itu, kebijakan saat ini dengan sistem single pool tidak mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kemampuan fiskal pemerintah pusat juga sulit menopang kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Kita sebagai warga negara yang baik mematuhi putusan MA. Namun, terus berusaha untuk mengembalikan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga revisi UU SJSN dan UU BPJS perlu dilakukan," ujar Guru Besar FKKMK UGM itu.
Laksono menyampaikan, yang terjadi selama ini dalam penyusunan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengalami perubahan sebanyak 58 kali. Sejak 2005-2019 masyarakat banyak mengajukan gugatan judicial review UU SJSN dan UU BPJS ke MK.
Tercatat ada tujuh putusan UU SJSN dan tujuh putusan UU BPJS. Ia menilai, kondisi itu sudah menunjukkan jika payung hukum dalam pelaksanaan JKN di Indonesia memang mengandung berbagai kekurangan.
"Selama ini perdebatan ideologis terkait filosofi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan beban fiskal pemerintah untuk membayar paket manfaat JKN belum pernah masuk agenda revisi UU SJSN dan UU BPJS," kata Laksono.
Untuk itu, PKMK FKKMK UGM mengajukan sejumlah usulan menyikapi kondisi itu. Salah satunya BPJS fokus kepada pengelolaan dana PBI APBN untuk masyarakat miskin dan tidak mampu sesuai dengan UUD 1945, dengan pelayanan standar.
Selain itu, diperlukan pengembangan sistem asuransi kesehatan di luar BPJS untuk tangani masyarakat mampu. Usulan selanjutnya, masyarakat mampu diharap membayar premi asuransi kesehatan sesuai kemampuan membayar bukan keinginan.
Bila tidak mampu, dimasukkan ke PBI APBN atau PBI APBD. Lalu, PBI APBD perlu dilihat per daerah dan mengembalikannya ke pemerintah daerah masing-masing dengan regulasi nasional, termasuk pengaturan portabilitas antar daerah
"Mari kita perjuangkan JKN yang lebih berkeadilan sosial," ujar Laksono.