Ahli Minta Perbatasan Korsel dengan China Ditutup

Menutup perbatasan jadi cara maksimal menekan penyebaran covid-19.

Kim Jong-un/Yonhap via AP
Menutup perbatasan jadi cara maksimal menekan penyebaran covid-19 (Foto: ilustrasi corona korea)
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan dipuji karena kebijakan perbatasan terbuka dalam tanggapan atas penanganan virus corona covid-19. Tapi sekarang wabah telah mencapai skala pandemi, para ahli kesehatan menyerukan kontrol perbatasan yang lebih ketat.

Mantan direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC) Jung Ki-suck menekankan bahwa langkah pemerintah untuk mengendalikan infeksi dari luar (imported cases) sama pentingnya dengan jarak sosial oleh penduduk setempat. Jarak sosial adalah tentang menghindari perjalanan yang tidak penting, di dalam negeri maupun di antara perbatasan.

"Belum terlambat untuk menutup perbatasan, jika kita benar-benar mencoba segalanya untuk mengendalikan penyebaran," kata Jung, yang menjabat KCDC pada 2016-2017, dilansir di The Korea Herald, Selasa (24/3).

Mantan direktur KCDC lainnya, Jun Byung-yool, yang mengepalai lembaga tersebut antara 2011 dan 2013, mengatakan penundaan perbatasan akan datang dengan harga yang mahal.

"Pemerintah membuat pilihan yang salah untuk tidak menutup perbatasan China, dan itu tetap dengan kesalahan, dan konsekuensi dari kesalahan itu adalah tanggung jawab seluruh masyarakat," kata Jun.

Tes corona pada saat kedatangan di perbatasan masih memiliki risiko membiarkan orang yang terinfeksi masuk. "Jika Anda menguji dan hasilnya negatif, itu berarti Anda negatif pada hari itu. Itu tidak berarti Anda terbebas dari virus," kata Jun.

Profesor kedokteran pencegahan Dr Choi Jae-wook dari Rumah Sakit Universitas Korea mengatakan, meskipun KCDC benar untuk memprioritaskan penularan dari komunitas, itu tidak berarti menyaring kasus-kasus potensial dari luar negeri tidak akan efektif.

KCDC mengatakan pada Selasa (24/3) bahwa infeksi yang datang dari luar negeri menyumbang sekitar satu dari empat kasus baru. Pertempuran melawan virus akan lama, kata para ahli, dan mengurangi adanya infeksi baru adalah kuncinya.

Meskipun penghitungan harian kasus baru telah turun menjadi dua digit dalam dua hari terakhir, tetapi terdapat peningkatan jumlah pasien yang jatuh sakit kritis. Delapan puluh tujuh pasien dengan Covid-19 berada dalam kondisi parah atau kritis, 62 di antaranya tidak dapat bernapas tanpa alat bantuan.

Menurut data 11 Maret, 87 persen ruang tekanan negatif di negara itu ditempati seluruhnya. Peralatan perawatan intensif seperti ventilator dan mesin ECMO juga dikhawatirkan kekurangan.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler